Gini, ya. Aku ngefans sama Om Yorgos Lantimos walaupun level fandom-nya nggak bisa disamain dengan fans Om Yorgos yang nonton Dogtooth tepat filmnya rilis tahun 2009. Aku engas banget sama The Lobster walaupun aku nontonnya di tahun 2016, sedangkan rilisnya tahun 2015. Itupun nontonnya cuma dari donlotan. Huhuhuhu.
Aku pengen nyium Om Yorgos Lanthimos dengan membabi buta, pas tau kalau film brojolan terbarunya yaitu The Killing of a Sacred Deer, bakal tayang di Indonesia tanggal 3 Januari 2018.
Tapi tayangnya di CGV. Kayaknya cuma di CGV aja deh. Sedangkan di Samarinda belum ada CGV.
Aku pengen nyium Om Yorgos Lanthimos dengan membabi buta, pas tau kalau film brojolan terbarunya yaitu The Killing of a Sacred Deer, bakal tayang di Indonesia tanggal 3 Januari 2018.
Atas bawah kayak gaya 69. |
HUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!
Ada sih CGV di Balikpapan. Tapi mau ke sana sama siapa? Teman-temanku yang biasa diajak ngebolang, yaitu Dita dan Kak Ira, lagi nggak ada di Samarinda. Aku suka sih nonton sendirian, tapi ya nggak sampe ke Balikpapan juga. Jauh anjir.
Tapi sebenarnya aku udah nonton The Killing of a Sacred Deer. Dua hari yang lalu. Berkat Tommy yang beberapa hari lalu ngasih donlotannya. Mhuahahahaha. Cuman gimana, ya. Aku pengen ngerasain sensasi nonton film sesakit itu di bioskop. Huaaaaaaaa. Kayaknya seru deh. Nonton di layar kecil hape aja seru. Apalagi di layar gede banget.
Bukan kayaknya lagi deh, tapi pasti seru. Karena The Killing of a Sacred Deer lebih serem daripada aksi sulap horor The Sacred Riana, pemenang Asia's Got Talent.
Poster gedenya ulululu~ |
Anjir. Malah bawa-bawa The Sacred Riana. Nonton aksi sulapnya juga baru sekali, itupun nontonnya di Youtube.
Yang jelas, The Killing of a Sacred Deer ini brengsek. Memang udah ciri khasnya Om Yorgos, bikin film-film brengsek. Film-film yang aneh, kalau bahasa halusnya.
The Killing of a Sacred Deer bercerita tentang dokter bedah jantung bernama Steven (Collin Farrel) yang 'bersahabat' dengan Martin (Barry Keoghan), anak umur belasan tahun. Martin adalah anak yang sopan, ramah, dan supel. Sedangkan Steven adalah dokter dari rumah sakit elit, yang bikin aku di awal mikir,
"Eh anjir ngapain dia temenan sama anak di bawah umur? Mau baik hati ngangkat jadi anak?"
Suatu hari, Steven 'membeberkan' kedekatannya dengan Martin ke anggota keluarganya, yang terdiri dari istrinya, Anna (Nicole Kidman), serta dua anaknya yaitu Kim (Raffey Casidy) dan Bob (Sunny Suljic). Martin melebur bersama keluarga yang harmonis itu. Sampai akhirnya ketentraman keluarga Steven itu terusik, karena Martin ternyata adalah seorang pelakor.
"Nggak mau makan. Ngambek sama kamu." |
Eh enggak. Yang bener itu, karena Kim dan Bob ketimpa penyakit mistis.
Ya, mistis. The Killing of a Sacred Deer bawa-bawa profesi dokter dan rumah sakit, tapi penyakit yang diderita anak-anak dokter itu nggak jelas apa namanya dan penyebabnya apa.
Tapi jelas, aku suka film ini. Suka banget!
"Kalau bisanya cuma berbuat nggak adil tapi nggak mau dapat balasannya, udahlah. Simpan argumenmu."
The Killing of a Sacred Deer adalah film horor yang bicara soal keadilan dan balas dendam. Keluarga Steven ditimpa musibah begitu karena kesalahan Steven di masa lalu, dan dia harus menebusnya tanpa dapat kesempatan buat membela diri. Martin merusak kehidupan Steven seolah-olah sambil ngomong,
Penyakit mistis adalah salah satu sekian banyak elemen horor di film ini. Ini film horor yang bajingseng brengsek banget. Sepanjangan nonton filmnya, aku ganti posisi duduk mulu kayak lagi menstruasi hari pertama. Bener-bener ngerasa nggak nyaman.
Music scoring-nya bikin ngilu dengernya. Mendesing-mendesing gitu. Eh gimana sih bahasanya. Pokoknya nggak nyantai. Serem. Beda sama Dogtooth yang 'sepi' dan The Lobster yang music scoring-nya terdengar 'megah.'
Film ini pun didukung dengan pengambilan gambarnya yang perlahan ngintilin si pemain.
Kamera ngintilin Om Collin. |
Kalau katanya Mas Yohan di akun Twitter-nya, itu namanya slow dolly shot. Slow dolly shot biasanya digunakan film horor buat nambah serem atau membuat perasaan nggak nyaman, dan itu efektif buat penonton film ini. Adegan lagu Burn-nya Ellie Goulding yang dinyanyikan Kim, kemungkinan besar bakal jadinya biasa aja kalau misalnya nggak disajikan dalam slow dolly shot.
Dua unsur di atas itu menurutku ngasih peranan besar buat bikin yang nonton ngerasa nggak nyaman. Soalnya ekspresi para tokohnya biasa aja, tapi yang nonton takut. Padahal biasanya yang bikin penonton takut (seenggaknya penonton kayak aku) itu ekspresi para pemainnya. Kita bisa takut kalau tokohnya takut, jejeritan, nangis. Sedangkan di film ini para pemainnya minim ekspresi, malah cenderung kaku kayak robot, tapi tetap aja bikin takut.
Kim Kim di lantai. Diam-diam merayap. |
Tapi menurutku lebih datar para pemain di Dogtooth sih. Mukanya kaku kayak habis dibalurin tisu magic, anjir.
Memang udah ciri khasnya film-film Om Yorgos sih. Para tokohnya berekspresi serba datar, kaku, kayak nggak bisa akting tapi bisa.
Hal-hal nggak lazim di atas bikin aku lagi-lagi jatuh cinta sama Om Yorgos.
Kim dan Martin lagi jalan-jalan sore. |
Di tengah nulis ini, aku jadi ingat komentarku di tulisan terbarunya Kresnoadi. Adi nulis soal kenapa-dia-nulis, dan kolom komentar pun dipenuhi alasan-alasan lain kenapa nulis. Aku juga punya alasan lain, yaitu karena nulis ngebebasin aku. Membebaskanku. Halah. Pokoknya gitu lah.
Dulu waktu pertama ngeblog, pas tahun 2011 kalau nggak salah, aku nulis karena terinspirasi Raditya Dika.
MAINSTREAM AMAT YAK.
Tapi makin ke sini, makin sok-sok sederhana sih alasan suka nulisnya. Ya itu, karena nulis bisa membebaskanku.
Walaupun sekarang udah nggak sebebas dulu, tapi aku tetap ngerasa leluasa nulis ini nulis itu. Nggak ada yang ngekang, nggak ada yang ngatur. Aku bisa baperin film kayak gini, aku bisa curhat blak-blakan juga. Dengan nulis, aku juga ngebebasin pikiranku dari beban kerjaan. Atau dari masalah receh akibat sifat pelupa, cekcok lucuk sama temen, atau terlibat percintaan bijingek.
Dengan kepedean dan sok dekatnya, aku ngerasa ada kecocokan sama Om Yorgos. Aku mikir kalau Om Yorgos bikin film buat ngebebasin dirinya. Om Yorgos 'mengadaptasi' bebas mitologi Yunani kuno karya Euripides berjudul Iphigenia in Aulis buat dituangkan ke The Killing of a Sacred Deer. Semakin nguatin anggapan orang-orang kalau dia adalah filsuf yang 'menyamar' jadi sutradara. Kalau buat aku, itu bikin aku ngakak karena keingatan kata-kata Darma waktu kami baperin The Lobster.
"Orang Yunani kan filsuf semua gitu," begitu Darma menyimpulkan.
Sungguh kesimpulan yang epik bijingek.
Tapi ya itu, menurutku Om Yorgos juga ngebebasin Darma buat mikir kayak gitu.
Om Yorgos selalu ngebebasin penontonnya. The Killing of a Sacred Deer nggak kasih data, keterangan, penjelasan tentang penyakit yang diderita Kim dan Bob. Kalau katanya Mas Yohan sih,
Dengan kepedean dan sok dekatnya, aku ngerasa ada kecocokan sama Om Yorgos. Aku mikir kalau Om Yorgos bikin film buat ngebebasin dirinya. Om Yorgos 'mengadaptasi' bebas mitologi Yunani kuno karya Euripides berjudul Iphigenia in Aulis buat dituangkan ke The Killing of a Sacred Deer. Semakin nguatin anggapan orang-orang kalau dia adalah filsuf yang 'menyamar' jadi sutradara. Kalau buat aku, itu bikin aku ngakak karena keingatan kata-kata Darma waktu kami baperin The Lobster.
"Orang Yunani kan filsuf semua gitu," begitu Darma menyimpulkan.
Sungguh kesimpulan yang epik bijingek.
Tapi ya itu, menurutku Om Yorgos juga ngebebasin Darma buat mikir kayak gitu.
Om Yorgos selalu ngebebasin penontonnya. The Killing of a Sacred Deer nggak kasih data, keterangan, penjelasan tentang penyakit yang diderita Kim dan Bob. Kalau katanya Mas Yohan sih,
"Informasi ditahan."
Menimbulkan banyak tanya, kok bisa sih Martin ngasih penyakit kayak gitu, ngasih pembalasan dendam kayak gitu? Dia punya kekuatan macam apa? Pake jasa dukun siapa?
Om Yorgos seolah ngebebasin kita buat ngetawain hal-hal kecil di film. Sampai hal kecil kayak nama anaknya Steven yaitu Bob. Ngeliat dia yang disuruh potong rambut mulu sama Bapaknya, bikin aku mikir dia harus potong bob biar sama kayak namanya.
Om Yorgos ngebebasin kita buat milih, mau jadi orang baik atau jahat dalam nanggepin komedi gelap di filmnya. Dialog-dialognya lucu, tapi... kalau kita ketawa, bikin mikir,
"Anjir, kok ketawa sih?"
Banyak momen dan dialog absurd di The Killing of a Sacred Deer yang bikin bingung antara mau ketawa apa nggak. Kalau ketawa, kayak nggak punya hati. Kalau nggak ketawa, sayang banget soalnya itu lucu. Obrolan mulai dari keponya anak kecil akan bulu-buluan orang dewasa, salah satunya. Adegan 'warisan' MP3 player juga. Brengsek banget. Aku ngerasa kasihan tapi ya gimana, itu lucu.
Om Yorgos ngebebasin dirinya sendiri untuk brojolin film yang dia suka, tanpa peduli kalau itu aneh, absurd, sakit. Om Yorgos seolah nyuruh kita buat mikir sendiri pas selesai nonton filmnya. Kita bebas. Seperti penuturannya yang aku baca di Vice.
“Saya tidak pernah berpikir menggunakan metafora, atau sengaja menciptakan asosiasi-asosiasi sendiri. Saya hanya menampilkan sebuah situasi yang kompleks dan berharap berbagai peristiwa muncul dengan sendirinya. Yang paling penting bagi saya, penonton mendapatkan jeda dan celah saat menikmati film, sehingga mereka bisa menciptakan kesimpulan sendiri. Saya tidak mau film saya berpura-pura memiliki satu kebenaran makna untuk semua orang.”
Terus ending-nya, dari tiga filmnya Om Yorgos yang baru aku tonton, kayak ngebebasin aku buat ngerancang ending sendiri. Dogtooth ngehe gregetan. The Lobster, aku puas banget.
Aku juga lebih baper sama The Lobster daripada sama The Killing of a Sacred Deer. Ngerasa lebih masuk ke The Lobster. Setiap jengkal The Lobster itu bikin baper, bikin merenung, bikin kepikiran. Mikirin apakah cinta itu memang harus yang sederajat? Harus punya kesamaan? Harus rela buat pura-pura?
Sementara The Killing of a Sacred Deer itu bajingak tengik sinting abis, apalagi temanya tentang pembalasan dendam. Aku suka tema begitu, tapi aku masih favoritin The Lobster. Film paling aneh-aneh-romantis yang pernah aku tonton.
Tapi sekali lagi, aku suka The Killing of a Sacred Deer. Bikin aku makin cinta sama Om Yorgos dan karya-karya anehnya. Tetap, aku mikir kalau Om Yorgos ngebebasin kita sebagai penontonnya.
Om Yorgos membebaskanku.
Tapi kayaknya aku nggak bakal bebas buat bisa jadi penonton The Killing of a Sacred Deer di CGV deh.
Huhuhuhu.
Om Yorgos ngebebasin kita buat milih, mau jadi orang baik atau jahat dalam nanggepin komedi gelap di filmnya. Dialog-dialognya lucu, tapi... kalau kita ketawa, bikin mikir,
"Anjir, kok ketawa sih?"
Banyak momen dan dialog absurd di The Killing of a Sacred Deer yang bikin bingung antara mau ketawa apa nggak. Kalau ketawa, kayak nggak punya hati. Kalau nggak ketawa, sayang banget soalnya itu lucu. Obrolan mulai dari keponya anak kecil akan bulu-buluan orang dewasa, salah satunya. Adegan 'warisan' MP3 player juga. Brengsek banget. Aku ngerasa kasihan tapi ya gimana, itu lucu.
Om Yorgos ngebebasin dirinya sendiri untuk brojolin film yang dia suka, tanpa peduli kalau itu aneh, absurd, sakit. Om Yorgos seolah nyuruh kita buat mikir sendiri pas selesai nonton filmnya. Kita bebas. Seperti penuturannya yang aku baca di Vice.
“Saya tidak pernah berpikir menggunakan metafora, atau sengaja menciptakan asosiasi-asosiasi sendiri. Saya hanya menampilkan sebuah situasi yang kompleks dan berharap berbagai peristiwa muncul dengan sendirinya. Yang paling penting bagi saya, penonton mendapatkan jeda dan celah saat menikmati film, sehingga mereka bisa menciptakan kesimpulan sendiri. Saya tidak mau film saya berpura-pura memiliki satu kebenaran makna untuk semua orang.”
Terus ending-nya, dari tiga filmnya Om Yorgos yang baru aku tonton, kayak ngebebasin aku buat ngerancang ending sendiri. Dogtooth ngehe gregetan. The Lobster, aku puas banget.
Aku juga lebih baper sama The Lobster daripada sama The Killing of a Sacred Deer. Ngerasa lebih masuk ke The Lobster. Setiap jengkal The Lobster itu bikin baper, bikin merenung, bikin kepikiran. Mikirin apakah cinta itu memang harus yang sederajat? Harus punya kesamaan? Harus rela buat pura-pura?
Sementara The Killing of a Sacred Deer itu bajingak tengik sinting abis, apalagi temanya tentang pembalasan dendam. Aku suka tema begitu, tapi aku masih favoritin The Lobster. Film paling aneh-aneh-romantis yang pernah aku tonton.
Tapi sekali lagi, aku suka The Killing of a Sacred Deer. Bikin aku makin cinta sama Om Yorgos dan karya-karya anehnya. Tetap, aku mikir kalau Om Yorgos ngebebasin kita sebagai penontonnya.
Om Yorgos membebaskanku.
Tapi kayaknya aku nggak bakal bebas buat bisa jadi penonton The Killing of a Sacred Deer di CGV deh.
Huhuhuhu.
3 komentar
The Lobster saya ingetnya malah nama font. :( Yah, beginilah kalau lagi belajar tipografi.
BalasHapusCara makan spagetinya bikin saya laper~
Nonton sendirian sampai ke luar kota kayaknya bakalan saya pikir-pikir lagi. Kecuali sekalian liburan. Ehe.
Lebih nge-fans Om Yorgos atau Bang Yoga, Cha? Wqwq. Pertanyaan bodoh macam apa ini. XD
Aku malah nggak tau kalau itu juga nama fomt :D
HapusAnjir. Malah bikin laper. Itu serem anjiiiiir.
Nah iya. Aku nggak berani sendirian sih. Lagian nggak diizinin juga sama Nyonyah Besar di rumah, Yogs. :(
PIKIRKAN SENDIRI!
Iya bener, May. Itu juga yang aku suka dari film-filmnya Om Yorgos.
BalasHapusANJIR NGAPAIN GANG DOLLY DIBAWA-BAWA, BANGKEEEEEEEEEE.
Iya tuh, udah keluar tanggal mainnya. Tapi bangke lah ujung-ujungnya minta link. Mayang bangke. XD