Begitu tau fakta kalau pemeran Lala di film Posesif adalah pendatang baru dan namanya Putri Marlino, aku langsung diserang perasaan iri yang membuncah. Baru pertama kali main film udah dapat peran utama, filmnya masih tayang terbatas tapi udah dapat 10 nominasi Piala Citra di FFI 2017, terus Putri bersanding sama Adipati Dolken pula.
BERSANDING SAMA ADIPATINYA ITU LHO AAAAAAAAAK. SALAH SATU AKTOR FAVORITKU YANG DALAM NEGERI. AKU NGGAK RELA LIAT ADIPATI MESRA-MESRAAN SAMA PUTRI AAAAAK.
Belum nonton filmnya aja, aku udah nunjukin tanda-tanda obsesif dan posesif akan Adipati.
Atas dasar ‘posesif’ sama Adipati itulah, aku nungguin banget Posesif tayang dari bulan lalu. Apakah posesifku bakal semakin parah pas nonton filmnya ntar, atau malah mereda karena liat aktingnya Putri yang bagus jadinya aku ikhlas mereka bergumulan. Aku pengen tau.
Ini film pertama Putri. Adipati ingin main film selamanya. |
Oh iya, aku juga mau mengenang dikasih lagu Dan-nya Sheila On 7 sama Agia Aprilian, calon adik iparku. Setahun yang lalu Agia ngirim voice note ke grup WWF sebagai hadiah ulang tahunku. Isinya riwayat perkenalan kami, ucapan selamat ulang tahun, dan suaranya dia yang nyanyiin lagu Dan. Sampai sekarang aku nggak ngerti kenapa Agia bangke milih lagu sesedih itu buat dinyanyiin sebagai pengiring ucapan selamat ulang tahun.
Dan-nya Sheila on 7 sendiri adalah salah satu lagu yang mengisi soundtrack film yang dikangkangi Edwin ini. Ditambah lagu No One Can Stop Us-nya Dipha Barus feat Kallula dan Sampai Jadi Debu-nya Banda Neira.
Akhirnya aku mengonsumsi Posesif, bareng Rina. Hari Kamis kemarin. Posesif punya kisah cinta anak sekolah yang dimainkan Lala Anindita (Putri Marlino), seorang anak SMA kelas 3 sekaligus atlet loncat indah peraih medali PON. Btw, aku sempat kaget sih pas pertama kali tau nama lengkapnya Lala. Ngingatin sama Lulu Andhita, blogger unyu asal Jakarta. Huehehehe.
Terus Posesif juga punya Yudhis Ibrahim (Adipati Dolken), anak baru di sekolah Lala. Ganteng, mudah bergaul, dan zodiaknya (kayaknya) Libra. Katanya, Libra itu tukang flirting. Nah, Yudhis ini skill flirting-nya wahid. Dia mampu ngajak jalan seorang siswi berprestasi dan belum pernah pacaran kayak Lala ini. Terus dengan mudah bisa nemuin chemistry di antara mereka berdua. Padahal baru kenal. Yudhis juga mampu melambungkan perasaan Lala setinggi-tingginya, jadinya si Lala senyam-senyum mulu. Fix, Yudhis zodiaknya Libra. Fix, Yudhis tukang flirting.
Eh tapi walaupun zodiakku Libra, aku ngerasa bukan tukang flirting sih. Nggak punya skill-nya, anjir. Ini masukin zodiak Libra biar nggak masukin Gemini lagi aja. Sesekali biarkanlah Gemini mengambil napas lega karena nggak dijadikan zodiak paling bajingak.
Lala dan Yudhis kenal bermula dari kena hukuman bareng. Saling ngiket tali sepatu mereka terus tawaf keliling lapangan sekolah. Dari situ mereka jadi dekat, jalan bareng, dicomblangin, dan pacaran. Mengikat janji buat sehidup semati dengan cara yang manis, romantis, dan nyaman. Tapi lama kelamaan, rasa sayang Yudhis ke Lala berwujud hubungan yang mengikat terlalu erat. Mengekang. Mengerikan. Yudhis yang awalnya terkesan obsesif pada Lala, berkembang menjadi posesif, dan lama kelamaan jadi abusive.
Bukan foreplay sebelum memulai 'mobil goyang.' |
Aku suka banget sama film ini. Bangsat bener. Film yang benar-benar ninggalin bekas. Menggentayangiku sepanjangan habis nonton filmnya. Posesif adalah kolam renang penyebab orang yang nggak bisa berenang kayak aku, rela buat terjun dari ketinggian 10 meter, dan tenggelam di sana selama mungkin. Posesif segar, menghanyutkan, dan dingin.
Putri dan Adipati adalah duet maut cantik ganteng tapi masih manusiawi. Nggak dandan tebal (bahkan mungkin nggak pake bedak ya? semacam bekas cacar di mukanya Putri aja sampe keliatan), nggak kayak anak-anak SMA di FTV. Adipati juga bentukannya anak SMA bet. Nggak gede keker dan nggak brewokan. Yaaaa walaupun nggak salah sih kalau ada anak SMA yang gede keker dan brewokan. Anak SMA sekarang aja pada ngegym gila.
Akting mereka berdua bajingseng sih. Putri bikin rasa iri dan nggak rela yang tertanam dalam diriku terkikis karena aktingnya. Dia benar-benar kayak atlet loncat indah beneran. Nggak berdayanya dia dalam menghadapi Yudhis yang memacari dia dengan buruk tapi dengan gampangnya bisa jadi baik, itu.... bener-bener menular ke penonton. Walaupun aku belum pernah punya pacar posesif, tapi seolah aku ngerasain jatuh cintanya Lala dan bingungnya Lala sama Yudhis.
Seumur-umur hamba nggak pernah ngalamin momen kayak gini, Ya Allah... |
Pas di tengah-tengah nonton, aku sempat keingat cinta waktu SMK-ku. Terus.... HAHAHAHAHAHAHA. Waktu itu aku berharapnya bakal diposesifin sama pacar.
“Ntar hari Minggu aku mau ke Tenggarong. Jalan-jalan habis lulusan.”
“Oke.”
“Boncengan sama Ikhsan.”
“Sip.”
“SAMA IKHSAN LHO. TERUS KAMU TAU KAN AKU ORANGNYA SUKA TIDUR DI JALAN."
“Iya tau. Udah ijin sama Madam (panggilan dia buat Mamaku) belum?”
Anjir. Aku ngarepnya dia cemburu terus aku bakal ngejelasin, “Ikhsan kan sahabatku. Kamu nggak usah cemburu.” Terus terjadilah ngambek-ngambekan dan larangan dari dia dan aku ngebaik-baikin dia dengan menggerayangi sekujur lengannya. LAH DIANYA MALAH ANTENG GITU. HUHUHUHUHU.
Huuuufh. Cinta masa sekolah Lala dan cinta masa sekolahku beda jauh, njeeeer.
Lanjut,
Lala dikisahkan sebagai cewek yang nggak pernah pacaran, dan Putri mampu memerankan karakter itu. Kebingungannya akan Yudhis selain karena dia gadis asli belum pernah pacaran, juga karena saran Ega (Gritthe Agatha), salah satu sahabatnya. Ega bilang kalau Lala beruntung bisa dapatin cowok kayak Yudhis. Perkataan sahabatnya itu sempat menenangkan hati Lala yang resah. Lalu saat Lala resah lagi, dia punya pemikiran kalau Yudhis bisa berubah, dan orang yang bisa bikin Yudhis berubah itu cuma dia. Cuma Lala.
Tapi emang gitu sih, kalau kita lagi ada masalah sama pacar, terus curhat sama sahabat kita, terus sahabat kita bilang itu masalah kecil, kita jadi meragukan keputusan kita buat udahan sama pacar. Apalagi kalau sahabat lebih pro dalam urusan perpacaran daripada kita. Terus ujung-ujungnya kalau sahabat malah nganggap masalah kita itu berat, kita harus udahan, kita malah mikir kalau itu bisa diatasi dan cuma kita yang bisa ngatasin. Pernah ngerasain gitu nggak sih?
Soal akting Adipati, bener-bener bangke sih. Bisa jadi kayak serial killer, tapi juga bisa jadi bocah umur 6 tahun yang habis dicubit emaknya. Posesifnya diperankan sempurna. Aku masih ketawa aja kalau ingat ucapan Rina yang, “Kita kayak lagi nonton film horor.” Asli, ngeliat Adipati itu nakutin. Rina beberapa kali nyengkeram lenganku karena kebangsatan Adipati. Mulai dari muka geramnya dia, bayangannya yang muncul di kaca jendela kafe tempat Lala dkk nongkrong, kemunculannya tiba-tiba di malam hari, sampai tatapan matanya yang kayak mau bunuh orang itu. Pas dia berbuat kasar ke Lala sih nggak usah ditanya. Bikin riuh rusuh. Cewek-cewek di belakangku teriak, “Aaaaak kok serem siih aaaaaaak,” tiap Adipati unjuk kebolehan sebagai cowok yang ‘kelewat’ sayang sama ceweknya.
Sementara aku cukup nyeletuk, “Anjer kayak psikopat.” Sesekali juga mengaduh kesakitan dengan pelan kalau Rina nyengkeramnya kekencangan.
Tumben aku kalem.
Tapi nggak kalem sih pas liat Lala-Ega-Rino. Selain Ega, Lala juga punya Rino sebagai sahabat. Mereka ngingatin aku sama persahabatan bertigaku bareng Dita dan Ikhsan. Aku ngikik sendiri ngeliat keakraban mereka sembari keingat momen jalan bareng dua sahabat ngeselinku itu.
LER (Lala-Ega-Rino) |
IDI (Icha-Dita-Ikhsan) |
Btw, maafkan foto di atas di mana poseku mencoba tampil beda alias nggak bisa negakin permennya itu di mulut, ya. Huhuhuhu.
Nah, berawal dari ingat Ikhsan sama Dita, aku malah jadi terpaku sama Rino (Chicco Kurniawan). Kesan yang ditampilkan Chicco sebagai Rino itu kayak Michael Sirachuch sebagai Hmhorg di serial Thailand judulnya Hormones. Baik hati, imut-imut, dan bikin salah tingkah. Aku duduk dengan gelisah, ngerasa ada yang nyetrum-nyetrum geli di salah satu bagian tubuh, dan gigitin jari buat nahan jeritan. Pemandangan Chicco lagi tersenyum dengan matanya yang nyaris hilang, menyipit tinggal segaris itu.....
BANGSAT MANIS BANGET ANJER.
Nah, berawal dari ingat Ikhsan sama Dita, aku malah jadi terpaku sama Rino (Chicco Kurniawan). Kesan yang ditampilkan Chicco sebagai Rino itu kayak Michael Sirachuch sebagai Hmhorg di serial Thailand judulnya Hormones. Baik hati, imut-imut, dan bikin salah tingkah. Aku duduk dengan gelisah, ngerasa ada yang nyetrum-nyetrum geli di salah satu bagian tubuh, dan gigitin jari buat nahan jeritan. Pemandangan Chicco lagi tersenyum dengan matanya yang nyaris hilang, menyipit tinggal segaris itu.....
BANGSAT MANIS BANGET ANJER.
Oh Tuhan... aku lemah sama cowok-cowok model begitu. Adipati buang aja buang.
Rino ibarat penyegaran sehabis ngeliat kampret yang durhaka kayak Yudhis. Iya, emang kampret. Menghalalkan segala cara cuma untuk menyampaikan rasa sayang dan membahagiakan Lala.
Terus pengambilan gambarnya aku suka. Lala dan Yudhis ditempatkan di tempat yang indah, bikin aku mikir kalau mau bikin film remaja romantis nggak harus ke luar negeri buat dapatin gambar yang bagus. Warna warni, slow motion, close up. Aaaaaah. Oh iya, soal close up, aku paling suka pas Yudhis lagi nungguin Lala latihan. Mukanya Adipati di-close up, begitu juga dengan rubik yang lagi dia gerayangin. Entah kenapa juga rubik yang dipilih buat jadi mainannya seorang Yudhis. Nggak mainan kekinian aja, kayak fidget spinner atau squishy.
SQUISHY BIJIMU KESELIP SATU.
SQUISHY BIJIMU KESELIP SATU.
Walaupun filmnya cukup kelam, tapi film ini punya dialog yang membekas di ingatan penonton melebihi quote puitis nan romantis film-film keluaran Screenplay. Aku suka tiga dialog di film ini, yaitu:
“Kalau dua orang udah ketemu, bisalah dicari kesamaannya.”
“Kata maaf udah nggak ada artinya lagi sekarang.”
“Ingat, kita udah pernah ngapain aja, La?!”
Bikin ngangguk-ngangguk dan relatable bet. Terutama yang terakhir. Sungguh relate buat orang-orang yang pernah atau berada dalam keadaan lagi diputusin pacarnya terus yaudah, ngancam pake kalimat itu deh.
Terus di balik satu kata sebagai judulnya, Posesif mengandung banyak makna. Posesif bukan semata-mata tentang abusive relationship, hubungan yang diselimuti rasa cemburu berlebih yang berujung penyiksaan lewat umpatan, makian, bahkan ke fisik. Posesif lebih dari itu. Bukan sekedar tentang gadis pintar yang mendadak ‘bodoh’ karena cinta. Bukan sekedar menjadikan Yudhis sebagai pelaku dan Lala adalah korbannya.
Posesif nggak pengen kita semata-mata menghakimi Yudhis layaknya menghakimi Chris Brown yang memukuli Rihanna sewaktu mereka masih pacaran. Atau semata-mata menghakimi Lala dengan bilang “Kok Lala mau sih pacaran sama orang kasar kayak Yudhis?” layaknya kita menghakimi Hanna Annisa yang mau-maunya bikin video bokep sama pacarnya.
Posesif nggak pengen kita semata-mata menghakimi Yudhis layaknya menghakimi Chris Brown yang memukuli Rihanna sewaktu mereka masih pacaran. Atau semata-mata menghakimi Lala dengan bilang “Kok Lala mau sih pacaran sama orang kasar kayak Yudhis?” layaknya kita menghakimi Hanna Annisa yang mau-maunya bikin video bokep sama pacarnya.
Posesif nggak menjadikan Yudhis jadi satu-satunya orang posesif di film ini. Yudhis jadi salah satunya. Ayahnya Lala (Yayu Unru) bisa dibilang posesif dengan seolah memandang Lala bukan sebagai anak, melainkan sebagai atlet asuhannya. Memaksakan Lala untuk meneruskan bakat Ibunya yaitu sebagai atlet loncat indah. Ibunya Yudhis (Cut Mini) pun bisa dibilang posesif. Ingin selalu berada di dekatnya Yudhis dengan nggak ngijinin Yudhis ngekos di Bandung terus milih buat ikut anaknya ke sana. Mendoktrin Yudhis dengan pemahaman,
“Cuma Mama yang sayang sama kamu. Nggak ada yang lain, termasuk Lala.”
“Cuma Mama yang sayang sama kamu. Nggak ada yang lain, termasuk Lala.”
Makna posesif juga nggak selamanya buruk di film ini. Berdasarkan review Posesif-nya Bang Rasyid, aku jadi mikir kalau sekolah Lala dan Yudhis juga posesif. Posesif lekat dengan aturan yang diberlakukan, dan guru di sekolah Lala-Yudhis (guru di sekolah pada umumnya pun begitu) berposesif ria dengan ‘mengekang’ muridnya buat nggak pake sepatu selain warna hitam. Begitu juga dengan Ayah Lala, yang makin lama filmnya bergulir, bikin aku mikir kalau posesifnya beliau itu nimbulin pemakluman. Nimbulin rasa simpati. Ayah Lala cuma punya Lala. Ayah Lala ngerasa cuma punya bahasan tentang loncat indah untuk bisa terhubung dengan anaknya. Ayah Lala kurang tau harus gimana ngasih perhatian dan rasa sayang ke anaknya.
Sedih banget anjir pas bagian Lala sama Ayahnya. Huaaaaaaaaa. Karena hubungan Lala dan Ayahnya itulah, aku jadi suka lagu Sampai Jadi Debu. Aku pikir aku bakal digentayangi lagu Dan, tapi ternyata enggak. Adegan yang ada Sampai Jadi Debu jadi awal mula airmataku tertahan di pelupuk mata. Terus jatoh dengan brutal pas aku noleh ke arah Rina. Dengan sigap Rina ngasih aku tisu, dan ngambil tisu buat dirinya sendiri. Kami terisak-isak bareng.
Saling bertatapan (tidak) mesra. |
Lalu aku terisak-isak sendirian, tiap dengar Sampai Jadi Debu. Sampai sekarang. Parah memang.
Kesimpulannya, Posesif adalah kumpulan orang-orang posesif. Hidup kita pun sebenarnya bisa nggak luput dari kehadiran orang-orang posesif. Rina dengan tawa berkepanjangannya, bilang kalau Mamaku posesif begitu tau dia harus izin nyulik aku buat nonton. Dia bilang, dia nggak pernah jalan sama teman yang diprotektifin kayak aku. Kalau mau jalan, ya jalan aja. Ucapan Mamaku ke dia yang “Jangan pulang malam-malam,” dibilang Rina sebagai ucapan yang bisa dihapal kayak Yudhis hapal ucapan andalan Mamanya.
“Mamamu sayang banget sama kamu itu, Cha,” kata Rina, menutup tawa bangkenya.
Sementara aku, ngatain Rina yang pernah pacaran sama cowok posesif. Ngatain cowoknya yang kalau Rina jalan, minta dikirimin foto lagi di mana, minta dikirim video lagi jalan sama siapa. Biarpun udah dikirimin, si cowok tetap marah dan nuduh Rina macam-macam. Ucapan Rina yang, “Selalu ada alasan buat nyalah-nyalahin, Cha,” ngubah tawa ngeledekku jadi prihatin.
Aku nggak bisa ngomong apa-apa selain ngasih senyum tipis miris.
Tuh, Cha. Diposesifin pacar itu tidak enaaaaaa.
Tuh, Cha. Diposesifin pacar itu tidak enaaaaaa.
Posesif dan Sampai Jadi Debu bikin aku bertanya-tanya. Apakah orangtua semacam Mamaku dan cowok di hidup Rina, bakal selamanya jadi posesif? Mau sampai kapan jadi posesif?
Sampai jadi debu?