Kadang kalau Mamaku nyuruh aku tidur pas aku lagi masyuk-masyuknya nonton film di laptop atau hape, ada satu keinginan liar terbesit di kepala. Aku pengen ngajak Mamaku buat ikutan nonton bareng aku. Film-film drama keluarga tentu aja jadi pilihan. Pasti itu bakal relate sama beliau. Selesai nonton, kami bakal bahas film itu sama-sama. Menciptakan bahan obrolan yang lebih bergizi dibandingkan kayak biasanya yaitu makan-siang-tadi-makannya-di-luar-apa-titip-teman-terus-menunya-apa-awas-aja-kalau-makan-mie-instan-lagi.
Tapi hal di atas itu sangat nggak mungkin terjadi karena kekolotan Mamaku yang udah mendarah daging. Mamaku pernah bilang kalau film The Conjuring 2 itu film kafir. Oke, bukan cuma The Conjuring 2, tapi semua film yang ditayangin di Fox Movies dan HBO itu dilabeli film kafir oleh beliau. Terus pas aku mau malam Mingguan sama Bapakku dengan nonton Silariang, Mamaku ngelarang dengan bilang,
“Nggak usah nonton gin. Nanti Bapakmu mau kencing-kencing terus. Kedinginan sama AC bioskop.”
Waktu itu aku berusaha mempertahankan rencana nonton dengan bilang,
“Nggaknya pang, Ma. Pasti Bapak tegang karena suka. Nggak sempat kepikiran mau kencing. Kan itu film Bugis (Bapakku orang Bugis btw).”
“DIBILANGIN NGGAK USAH NONTON YA NGGAK USAH! MENDING UANG NONTONNYA DIPAKE BUAT BELI MIE JOGJA! KENYANG!”
Ya gitulah. Mamaku nggak suka nonton film, intinya. Iya sih, wong udah tua begitu. Huhuhuhu.
Mungkin momen nonton film berdua sama Mamaku bisa terjadi kalau seandainya film Philomena itu Termehek-Mehek rasa Mikrofon Pelunas Hutang campur Mamah dan Aa Beraksi.
Berpikir keraz. |
Philomena ini aku taunya dari review Mbak Niken. Pas ngebaca review yang sarat akan kekaguman dan kebaperan akan Philomena, aku langsung berminat buat nonton. Aku ngerasa di tulisan itu, Mbak Niken seolah ngomong,
“Kalo lo ngerasa film sebagus Philomena itu biasa, tandanya ada yang salah sama lo.”
Aku pun penasaran dan langsung nonton. Sehabis nonton filmnya, ya bener aja sih sama apa yang udah ditulis Mbak Niken. Filmnya baguuuuuuuus! Aku ngerasa film keluaran tahun 2013 ini harus aku bahas walaupun nggak dibahas kayak film Dunkirk yang sampe bikin ada commentwar (kayak twitwar gitu hehehe) di blognya Mas Rasyid Harry. Dan padahal aku udah nge-review film ini di Twitter.
Tapi itu nggak cukup menggambarkan betapa bajingsengnya film ini.
Philomena ini berdasarkan kisah nyata, sama kayak Dunkirk (yaelah kenapa Dunkirk mulu daritadi sih, Chaaaa) lebih tepatnya diadaptasi dari buku berjudul The Lost Child of Philomena Lee yang ditulis oleh mantan jurnalis BBC bernama Martin Sixsmith. Filmnya kurang lebih ngingatin sama The Program. Sama-sama tentang petualangan jurnalis dalam mencari kebenaran. Kalau pas sebelum nonton The Program, aku harus browsing ke sana kemari buat mau lebih masok di filmnya, nah kalau Philomena ini enggak. Mbak Niken bilang kalau semakin sedikit yang kita tau soal kisah Philomena, semakin seru filmnya. Dan aku nurut.
Filmnya diawali dengan problematika seorang lelaki bernama Martin (Steve Coogan) yang baru saja dipecat, jadi pengangguran, dan sedang ingin menulis buku sejarah Rusia. Tak lama kemudian dia dipertemukan dengan pegawai di salah satu restoran, yang memintanya untuk membantu sang Ibu. Philomena Lee, itulah Ibunya.
Philomena, tokoh utama film ini, adalah seorang lansia yang ramah, lugu, dan religius. Masa mudanya dulu dia habiskan dengan hidup diasingkan di gereja karena hamil di luar nikah. Dia menggantungkan harapan pada Martin, harapan untuk bisa menemukan anaknya yang sudah 50 tahun terpisah darinya dikarenakan kekejaman gereja tempat ia ‘belajar’ dulu. Saat Martin mengiyakan permintaan Philomena, dimulailah petualangan mereka berdua dalam mencari anak yang hilang. Petualangan berujung momen yang bikin aku berkata-kata tidak higienis untuk para biarawati bajingak itu. Biarawati yang mengatasnamakan agama dan mendompleng popularitas gereja untuk berbuat keji.
Aku suka cerita yang diangkat di film ini. Rada ngingatin sama perjalanan Cici Panda dan Mandala Shoji-nya Termehek-Mehek, yaitu mencari orang hilang. Ngingatin sama acara yang dulu aku suka tonton berdua sama Mamaku. Dan lebih suka lagi karena ‘cara mengangkatnya’ adalah dengan cara yang ringan, manis, dan juga lucu. Perjalanan mereka nggak ditunjukkan secara bertele-tele. Chemistry antara Judi Dench dan Steve Coogan itu juga manis. Judi Dench memerankan Philomena yang religius dan sangat amat percaya kuasa Tuhan, sedangkan Steve Coogan dengan perannya sebagai Martin yang meragukan eksistensi Tuhan dan cenderung sinis soal agama.
Bertatap manjah |
Karakter yang bertolak belakang menjadikan perjalanan mereka bikin ngakak. Perjalanan mereka dihiasi dengan dialog-dialog cerdas nan sarkas yang keluar dari mulut Martin. Dan Philomena bikin ngakak dengan ceritanya soal seks dan dengan kebiasaannya yang suka menceritakan lengkap isi novel. Dan adegan pas depan pintu hotel dia datangin Martin itu cukup lucu. Kirain dia mau ngomong apa. Eh taunya....
Di setiap film pasti ada tokoh antagonisnya. Di film ini tokoh antagonisnya adalah para biarawati tempat di mana Philomena dulu tinggal. Tempat di mana dia dan anaknya dipisahkan selama 50 tahun. Dan ya, aku keseeeeeel banget sama para biarawati itu. Aku nggak terima sama apa yang mereka telat perbuat dan bikin aku nggak terima sama ending-nya karena... WHAAAT THE FUCK ITU NGGAK ADIL BANGET BUAT PHILOMENA GITU LHO. DIALOG “RASA SAKIT ADALAH PENEBUSAN DOSANYA,” YANG KELUAR DARI MULUT KEPALA BIARAWATI SEMPAT BIKIN KUPINGKU PANAS DENGERNYA. HHH.
Aku baper sama Philomena. Jatuh cinta dengan Philomena menurutku sama kayak jatuh cinta sama lagu Santa Tell Me-nya Ariana Grande. Sama-sama tentang bukan agama yang aku anut tapi bisa dinikmati. Santa Tell Me bukan cuma tentang Natal, malah lebih ke tentang cewek yang nggak mau dipehapein lagi sama satu cowok. Bisa dinikmati sama ciwik-ciwik yang sering kena PHP sih menurutku. Lirik, “Don’t make me fall in love again. If he won’t be here next year," itu sungguh asyu.
Dan ya, Philomena bisa relate ke agama lain. Aku jadi mikir kalau isu agama yang diangkat Philomena, bisa relate sama agama Islam yang ‘disalahgunakan’ oknum-oknum bajingak sebagai pembenaran atas perbuatan buruk yang telah mereka lakukan. Ya contohnya FPI.
Hah, Cha.... TAU APA KAMU SOAL FPI....
Terus.... karena tokoh utamanya adalah seorang Ibu, maka film ini nggak jauh-jauh dari kasih sayang seorang Ibu terhadap anaknya. Ibu adalah manusia yang selalu ngerasa bersalah kalau anaknya kenapa-kenapa. Ibu nggak mau menyalahkan keadaan bahkan anaknya sendiri, padahal jelas-jelas itu adalah kesalahan anaknya. Contoh sederhananya kayak anak kena maag akut karena malas makan, ya Ibu tetap aja nggak nyalahkan anaknya. Philomena memperlihatkan rasa bersalah itu. Meskipun di sini anaknya nggak salah sih, yang salah adalah para biarawati bajingak itu.
Dan ngebuat aku mikir, terkadang menyalahkan diri sendiri lebih baik daripada menyalahkan yang lain. Menyalahkan diri sendiri dengan artian ya kayak Philomena itu. Merasa bertanggung jawab, dan memaafkan apa yang udah terjadi.
Ngomong-ngomong soal Ibu, aku jadi mikir gini sih. Seandainya Steve Coogan ini Okky Lukman-nya Mikrofon Pelunas Hutang, di mana karakter Martin bukannya sarkas dan sinis, melainkan mudah merasa kasihan dan suka nangis sesenggukan, terus berusaha menularkan tangisannya itu ke penonton. Terus Philomena dibikin melarat, dibikin punya keterbatasan fisik, dibikin memprihatinkan gitu lah. Film ini jadi penuh dengan muatan konflik pribadi yang over dramatic menguras air mata. Ya tetap aja dari kisah nyata tapi dikasih bumbu-bumbu drama biar sedap. Apalagi kalau agama Katholiknya diganti jadi agama Islam. Mungkin Philomena bakal jadi tontonan yang emak-able. Bahkan bisa dijadiin series kayak Tukang Bubur Naik Haji.
Kalau Philomena jadinya begitu, pas disuruh tidur, aku bisa bilang,
“Ma, sini nonton Philomena sama Icha.”