Baru nonton series bajingak berjudul 13 Reasons Why sampai episode 5. Sengaja nggak lanjut dulu karena ngerasa agak stress. Mungkin ini terdengar lebay, tapi jujur, AKU NANGIS PAS NONTON EPISODE DUA. Bangke beneeeeeer. Ditambah pas dengerin lagu Only You-nya Selena Gomez, yang jadi ost-nya series ini. Suara Selena Gomez bikin lagunya jadi pahit-pahit manis.
Terus aku ngiyain dengan keras begitu akun @obedap bilang kalau lagu Stan-nya Eminem mirip sama 13 Reasons Why. Karena..... yes! Aku juga berpikiran sama. Nontonin episode pertama 13 Reason Why, ngingatin aku sama salah satu lagu kesukaanku itu. Diceritakan dalam lagu itu, Eminem dapat surat dan kaset berisi curahan hati dari Stan, fans beratnya. Stan ngerasa dikecewakan dengan amat sangat sama Eminem, dan akhirnya dia.... mati. Jadi, Eminem ngedengerin sesuatu dari orang yang udah mati. Dan Eminem sendiri awalnya bingung apa salahnya dia pada Stan. Sama kayak Clay, tokoh utama di 13 Reasons Why.
Bukan foto buku nikah. |
13 Reasons Why bercerita tentang seorang anak SMA bernama Clay Jensen (Dylan Minnete, atau yang bisa dipanggil sebagai cowok-innocent-dari-film-bajingseng-Don’t-Breath) yang mendapat paket berisi banyak kaset. Bukan, dia bukan habis pesan CD original musisi ternama, atau habis menang giveaway trus dapat hadiah paket itu, atau habis dari kantor pos dulu, tapi karena dia termasuk salah satu dari 13 orang yang diceritakan dalam kaset rekaman itu. Dibuat oleh Hannah Baker, teman satu sekolah Clay. Dan diterima oleh Clay, beberapa waktu setelah Hannah ditemukan meninggal dalam keadaan bunuh diri.
Muka sedih-sedih cantik-nya Hannah. Hannah Anya. |
Kaset itu udah kayak podcast yang berisi aku-adalah-Hannah-Baker-si-gadis-bunuh-diri-karena-13-orang-yang-aku-ceritakan-dalam-kaset-ini. So, Clay yang merasa nggak pernah punya masalah dengan Hannah, jadi penasaran kenapa dia termasuk dalam daftar itu. Seberat apa masalahnya sampai mutusin gadis berambut kibas-kanan-kiri-able itu bunuh diri.
Aku ngakak begitu sadar kalau Stan sama 13 Reasons Why itu ada kemiripan. Dan ngakak sambil.... oke, sambil nangis karena ngerasa apa yang dialami Hannah, pernah aku alamin juga.
Oke, aku pernah berniat bunuh diri. HAHAHA. Bego banget anjir. Pikiran mereka-bakal-peduli-sama-aku-kalau-aku-udah-mati itu mengangkangi. Terus pernah ngalamin sahabat pindah ke sekolah lain, yaitu Dita yang pindah ke SMA 3 dan aku ngerasa kesepian. Aku pernah dicap jelek sebagai pelacur, walaupun efeknya nggak sebesar yang dirasain Hannah dan murni karena salahku yang sering bercanda soal Om-Om. Aku pernah ngalamin rusaknya persahabatan. Aku pernah polosnya, atau mungkin lebih tepatnya begonya, percaya sama orang yang berlagak baik. Aku pernah...
ANJIR. JADI CURHAT JOR-JORAN. INI KALAU AKU UDAH SELESAI NONTON SAMPAI 13 EPISODE TERUS AKU REVIEW BAPERIN, BISA-BISA JEBOL TANGGUL CURAHAN HATIKU.
Ya, walaupun baru sampai di episode 5, tapi aku udah sebaper semelankolis itu. Dan udah bilang aja kalau 13 Reasons Why adalah series yang bikin kepikiran setelah Hormones. Kepikiran saking bagusnya. Ya, walaupun sebagian orang nganggap kalau 13 Reasons Why itu B aja. Namanya juga selera orang berbeda-beda. Jadi aku nggak harus gedek terus bilang,
“Kamu nggak suka 13 Reasons Why? Welcome to your tape.”
Terlepas dari soal bunuh diri-bisa-membuat-orang-orang-yang-pernah-jahat-jadi-menyesal, 13 Reasons Why mengajarkan satu hal. Kita bisa aja nggak tau seberapa besar kecewanya orang lain terhadap kita. Menurutku, kita nggak bisa nuding orang yang kecewa sama kita dengan,
“Ih, kamu baperan!”
Karena.... heeeey! Setiap orang punya tingkat emosinya masing-masing. Berbeda-beda. Kita nggak tau seberapa berat hari yang telah dia lalui, masalah apa yang udah dia dapatkan sebelum ‘dikecewakan’ kita. So, peduli dan menjaga perasaan orang lain itu penting.
Tapi menjaga perasaan orang lain itu nggak mudah. Secara sengaja maupun nggak sengaja, kita pasti pernah ngecewain orang lain. Yang nggak sengaja itu kita nggak bermaksud buat ngecewain, tapi malah jadinya ngecewain. Contohnya kayak kita nolak ajakan teman kita buat jalan bareng dengan alasan kita capek, chat temen nggak kita balas padahal kita upload foto di IG atau seliweran di Twitter, atau komen di blog temen blogger kita dengan kalimat,
“Baru mampir, udah suka sama tulisannya.”
Walaupun keliatan sepele, tapi itu rasanya tuh cakid anet tauk. Bisa aja jadi alasan kenapa orang lain kecewa sama kita.
Dan aku ngerasa pernah ngecewain orang lain, yang berujung ngecewain diriku sendiri. Alias ngebuat aku kepikiran. Yang bisa dibilang.... aku menyesal. Seharusnya aku nggak begini, nggak begitu. Tapi... aku udah telat. Tiga bulan.
Eh maksudnya, aku udah telat buat ngubah itu. Karena udah terjadi dan udah berlalu. Dan menyesal itu tiada gunanya.
Maka dari itu, pas aku baca tulisannya Ichsan bijingsek soal kekecewaan, aku jadi ngerasa related. Tulisan yang jujur. Aku harus bilang kalau aku suka sama tulisannya dan jadi terinspirasi buat nulis soal kekecewaan juga. Ditambah pas nonton 13 Reasons Why, ngeliat Hannah Baker dikecewakan sama orang-orang di sekitarnya, aku jadi semakin pengen nulis tentang orang-orang yang pernah aku kecewakan. Mungkin ada banyak, tapi sementara lima orang di bawah ini yang bikin aku kepikiran.
1. Darma.
Aku ngerasa udah ngecewain dia waktu nggak ikutan nulis Tribute To Darma buat project e-book WIRDY beberapa bulan lalu. Aku udah nulis draft-nya. Tapi aku nggak lanjutin lagi karena... aku ngerasa tulisanku beda daripada yang lain. Anggota WIRDY lain pada buat fiksi yang bagus banget. Lagian aku nggak bisa nulis di bawah tekanan, deadline, atau apalah itu. Aku tergantung sama mood.
Tapi harusnya aku lanjutin aja draft itu. Harusnya aku nggak takut buat beda. Harusnya aku nggak bergantung sama mood. Atau, harusnya aku pake aja tulisan di Tumblr-ku yang isinya ngebaperin film Rudy Habibie. Yang aku dedikasikan buat Darma.
Aku benar-benar ngerasa bukan teman yang baik. Teman macam apa aku? Aku kayak nggak peduli sama Darma.
Lebih ngerasa nggak pedulinya lagi pas aku lupa ngucapin ulang tahun ke dia bulan lalu. Dan aku baru ingat pas bulan ini. BULAN KEMAREN AKU NGAPAIN AJAAAAA? Oh iya, aku sibuk bergumul dengan urusanku sendiri. Sampai-sampai aku jadi sok sibuk, lupa hari menetasnya Darma.
Dan aku masih aja nggak bisa ngeluangin waktu yang banyak buat telponan sama Darma, yang bisanya pegang hape cuma pas hari Sabtu-Minggu. Aku malah sibuk jalan-jalan sama teman-temanku yang bisa aku temuin kapan aja.
Mungkin hal-hal di atas biasa aja buat Darma. Nggak dia pikirkan. Mungkin akunya yang lebay udah mikir dia bisa kecewa sama aku karena hal-hal itu. Tapi hal-hal di atas bikin aku mikir,
“Darma gimana di sana? Dia kayaknya jadi tuan kesepian. Sekarang ini dia lebih butuh teman curhat daripada teman muncrat. Tapi aku nggak selalu ada buat dia. Aku kalah sama dia yang selalu ada buat aku.”
“Darma gimana di sana? Dia kayaknya jadi tuan kesepian. Sekarang ini dia lebih butuh teman curhat daripada teman muncrat. Tapi aku nggak selalu ada buat dia. Aku kalah sama dia yang selalu ada buat aku.”
Yha. Aku ngerasa kalah dari Darma. Dan aku kecewa sama diriku sendiri.
2. Dita.
Dita pernah kecewa sama aku karena aku nggak datang ke acara wisudanya. Alasan aku nggak datang karena.... aku nggak punya uang buat beli buket bunga dan boneka. HA.... HA... HA... Melarat banget yak. Waktu itu aku lagi nganggur terus bokek, dan rasanya nggak mungkin minta uang ke Mama dengan alasan itu. Aku pengen datang dengan tangan kosong, tapi kalau ingat keantusiasannya akan wisuda itu dan harapannya bakal foto sama aku sambil meluk buket bunga dan boneka, aku milih buat nggak datang.
Kami jadi musuhan gara-gara itu. Aku minta maaf tapi nggak digubris. Dan aku ngerasa sedih. Ngingatin aku sama waktu dia mutusin buat pindah sekolah.
Sampai akhirnya, dia datang ke rumah bareng Ikhsan buat kasih suprise ulang tahunku bulan Oktober tahun lalu.
“Jadi, kita baikan nih? Ahahahaha.”
“Iya. Orang waktu itu datang aja ke wisudaku, Tan. Nggak bawa apa-apa juga nggak papa kok. Aku lho wisuda jarang-jarang.”
Walaupun kami udah baikan dan intim berdua lagi, tapi aku masih suka kepikiran sama kejadian itu. Ternyata aku yang nggak datang bikin dia kecewa. Ternyata kebiasaan nggak enakanku bikin aku ngerasain momen musuhan yang nggak enak itu. Dan aku nggak mau lagi bikin Dita kecewa.
3. Kak Ira.
Beberapa waktu lalu, temen kerjaku mutusin buat resign. Aku melihat hal itu sebagai perpisahan yang rada menyedihkan karena tempat duduk kami deketan, sekaligus kesempatan buat Kak Ira berhenti jadi pengangguran. Aku pun nyuruh Kak Ira buat masukin lamaran ke tempat kerjaku.
Tapi yang ada, Kak Ira nggak keterima. Aku sedih. Aku udah berusaha buat bujukin mas-mas HRD-nya buat seenggaknya, panggil Kak Ira buat interview. Tapi mas-mas HRD-nya udah kepincut sama kandidat yang lain.
Aku nggak bisa bantuin dia padahal selama ini dia udah sering bantuin aku. Bahkan aku sampai mikir kalau job desc-ku hidup di dunia yaitu cuma nyusahin kakak sepupuku itu aja. Tapi buat bantuin dia sekecil itu aja aku nggak bisa.
Seandainya aku bisa lebih berusaha lagi buat bujuk mas-mas HRD-nya. Seandainya aku gembar-gembor promote dengan kalimat,
“Dicoba aja dulu sepupu saya itu, Mas. Ena kok orangnya, kerjanya bagus trus pengalaman kerjanya banyak!”
Seandainya pas pulang kerja, aku merayap ke ruang HRD trus datangin mas-masnya dan melakukan lapdance sambil membujuk rayu dia buat terimain Kak Ira.
Seandainya....
Seandainya....
Ah. Ngawur.
Mungkin bukan rezekinya di tempat kerjaku kali ya. Tapi aku tetap ngerasa udah ngecewain Kak Ira. Huhuhuhu.
4. Mamaku.
Hahaha. Gilak ya. Sampai orangtua ikut dikecewain. Apalagi ngecewainnya kayak gini.
Semenjak Mamaku sakit parah kemarin, beliau kayak kehilangan keperkasaannya. Maksudnya, beliau udah jarang marah-marahin aku. Paling sekedar teriakin aku nyuruh makan kalau aku lagi di kamar. Aku dan Mama udah lama nggak beradu mulut lagi.
Demi kesehatan beliau juga sih. Kemaren kan beliau bisa sakit begitu sampai kehilangan banyak berat badannya karena marah-marah terus. Pembuluh darah beliau pecah. Jadi beliau harus mengontrol emosinya. Tapi aku nggak bisa mengontrol emosiku.
Waktu lagi enak-enaknya ngilangin mumet habis pulang kerja dengan baring-baring, Nanda ngedudukin kacamataku. Kampret. Aku kesel banget.
AKU UDAH BERTAHUN-TAHUN BARENG KACAMATA BULUK ITU. UDAH SERING AKU TIDURIN JUGAAAAA. UDAH SERING KETENDAAAAANG. PERNAH MASUK KE BAK MANDIIII. NGGAK PERNAH PATAAAAAAAAAH! LAH INI DIDUDUKIN SAMA DIA UDAH PATAAAAH AAAAAAAKKK!!!
DASAR BOKONG BESAAAAAAR!!!!!
Kesel. Kalau patahnya karena ulah sendiri kayaknya nggak kesel-kesel banget dah.
Aku langsung ngamuk-ngamuk. Ngelemparin dia pake bantal yang ada di dekat situ. Habis itu dia pake ngelak lagi, nggak mau disalahin. Dengan muka datarnya itu. Aku tambah kesal. Aku langsung tendang tasnya yang kebetulan tergeletak di lantai. Dan langsung memboyong kacamataku, buku yang tadinya mau aku baca, dan hape beserta earphone-nya, ke kamar atas.
Di kamar atas, aku melampiaskan emosiku dengan nangis kenceng. Kesel bangeeeet. Udah salah nggak mau disalahin lagi! Bangke! Taunya Mamaku dateng. Sontak aku langsung baring dan membelakangi beliau.
“Ayok, nak. Kita ke optik depan. Baikin kacamatanya.”
“Udah Mama sana aja naaaaaaah! Biarin aja kacamatanya!”
“Jangan. Ayok sudah ganti yang patahnya aja itu. Paling berapa aja.”
“UDAH DIBILANG ICHA NGGAK MAUUUU! MAMA SANA NAAAAH. MALES NAAAAAH.”
“Yaudah nggak usah nangis. Malu didenger tetangga.”
“KAYAK GIMANA KALAU ICHA MAU NANGIS? MASA DITAHAN-TAHAN? MAMA SANA NAAAAAAAH!”
Mamaku udah kayak cowok yang nanganin ceweknya yang lagi ngambek. Tetap ngebujuk aku walaupun udah aku usir-usir. Tumben banget. Biasanya kalau aku udah berani kurang ajar kayak gitu, Mama bakal ngebentak aku dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang pernah beliau dengar dari tausiyah Mamah Dedeh, lalu mendaulatku sebagai The Next Malin Kundang.
Sampai akhirnya Mamaku keluar dari kamar.
Besoknya, pas aku pulang kerja, baru masuk rumah, Mamaku ngedatangin aku dan bilang,
“Cha, jangan marah sama Mama ya. Mama mau ngomong baik-baik ini.”
“Iya kenapa, Ma?’
“Tadi kan Mama bawa kacamatamu ke optik depan…”
“MAMA NGAPAIN KE OPTIK DEPAAAAN? KAN UDAH ICHA BILANG NGGAK USAH DIAPA-APAIN DULU KACAMATAAANYA.”
“Coba dengarin dulu. Mama bawa ke optik depan supaya bagus lagi kacamatamu. Trus orangnya mau gantikan bingkainya tapi nggak ada yang cocok sama kacanya. Paksa dilemkan yang patah, tapi nggak bisa ditekuk. Kasihannya orangnya nggak mau dibayar.”
“Trus Mama ke sana sama siapa?”
“Sendirian.”
“Jalan kaki?”
“Iya. Jalan kaki Mama ke depan siang-siang.”
Aku terdiam. Dalam hati koar-koar,
“Ya ampun, Mama orangnya emang suka ribet gitu sih. Itu kan urusan anaknya. Sampai rela jalan ke depan gang segala. Padahal Mama udah nggak sekuat dulu kalau jalan. Mana siang itu panas banget....”
Aku pun bilang tanpa berani ngeliat ke Mamaku.
“Makasih, Ma.”
Hahahaha. Aku jahat ya. Cuma bilang makasih.
Aku tau Mama pasti kecewa sama aku. Pasti. Ya iyalah. Ibu mana yang nggak kecewa sama anaknya yang malah marah-marah pas dibaik-baikin? Tapi Mama bisa menyembunyikan kekecewaan itu. Bahkan berusaha bikin aku nggak kecewa lagi sama wujud kacamataku.
Hal itu bikin kepikiran. Dan jadi hal yang selalu aku ingat kalau aku mau musingin hal menye-menye nggak penting. Orangtua yang lebih penting.
5. Zai.
Semua gara-gara mimpi bedebah itu.
Di mimpi itu, keluargaku ngadain acara. Ada keluarga Zai pada datang. Dan tentu aja ada Zai. Kami nggak bertegur sapa sepanjang acara. Makan pun, aku nggak mau di dekat dia. Hal itu aku lakukan bukan karena aku benci dia, tapi karena aku malu udah mutusin dia.
Pas sore, kakak-kakakku pada maksain aku buat ngomong sama Zai. Entahlah kayak gimana kejadiannya, yang jelas aku sempat juga denger keluarga Zai cerita ke keluargaku kalau Zai nggak sempat foto sama Bapaknya yang di Banjarmasin waktu dia ke sana. Zai makin tertutup aja.
Akhirnya aku berani ngomong. Nyapa dia, habis itu langsung nangis.
“Aku nyimpan foto ini btw.”
Dia nunjukkin foto kami berdua kayak nunjukin STNK dan SIM pas kena tilang. Seolah-olah ngerasa bersalah.
Kami pun berjalan beriringan ngantarin dia dan keluarganya pulang.
“Gimana perasaanmu waktu itu? Waktu aku mutusin kamu?”
Zai. Cuma. Tersenyum.
Dan ternyata Zai dijemput travel. Tapi orangtuanya nggak ngebolehin Zai naik ke mobil. Malah Bapak tirinya sama Mamanya yang naik. Aneh bet. Ada Rachel sama Khansa juga di situ.
HAHAHAHA. Mimpi yang absurd.
Tapi terasa nyata buatku. Bangun tidur, aku ngerasa... hoek, ngerasa hampa.
Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata aku lebih jahat daripada Zai. Aku pernah jalan sama Kago kayak orang pacaran. Aku pernah selingkuh secara batiniah (suka sama cowok lain di saat kita udah punya pacar, itu termasuk selingkuh kan?). Aku pernah benci sama sifatnya yang susah ngungkapin perasaan, jadinya aku yang agresif layaknya karakter Gerda di film The Danish Girl, padahal harusnya aku terima dia apa adanya. Aku....
Aku ngecewain dia dengan mutusin secara sepihak. Harusnya aku bersabar nunggu dia kasih penjelasan. Penjelasan atas kenapa-dia-makin-cuek-sama-aku. Mengingat kalau dia orangnya nggak terbuka dan suka mendam masalah, bisa aja dia lagi ada masalah sama kerjaan, dan makanya berdampak sama hubungan kami waktu itu.
Telek. Aku kok geli sih ngetiknya.
Telek. Aku kok geli sih ngetiknya.
Yaudah. Gitu aja.
Aku bajingak ya? Hehehe. Hahaha. Huhuhuhu.
Yoga sempat bilang kalau sebaiknya tulisan ini nggak perlu dipublikasikan di blog. Atau kalau mau dipublikasikan, nggak usah terang-terangan. Menurut Yoga, hal-hal itu udah berlalu dan aku ngerasa bersalah, itu udah cukup. Aku ngehargain pendapat Yoga, dan berpikir kalau Yoga berpendapat gitu karena peduli sama aku sebagai teman. Ya, seorang Gemini juga bisa peduli sama temannya ternyata.
Yoga sempat bilang kalau sebaiknya tulisan ini nggak perlu dipublikasikan di blog. Atau kalau mau dipublikasikan, nggak usah terang-terangan. Menurut Yoga, hal-hal itu udah berlalu dan aku ngerasa bersalah, itu udah cukup. Aku ngehargain pendapat Yoga, dan berpikir kalau Yoga berpendapat gitu karena peduli sama aku sebagai teman. Ya, seorang Gemini juga bisa peduli sama temannya ternyata.
Tapi entahlah, aku pengen aja nulis 5 Reasons Why ini. Nulis 5 orang yang jadi alasan aku kecewa sama diriku sendiri. Mungkin sama kayak Hannah yang mutusin buat menyebarkan kaset rekaman tentang curahan hatinya. Mungkin yang kami cari itu sama. Yaitu, kelegaan. Lega adalah sebuah jawaban.
0 komentar
Komentar baru tidak diizinkan.