Selain anime dan JAV, tontonan dari Jepang yang jarang aku jamah adalah film-filmnya. Aku cuma pernah nonton Confessions, Audition, dan 700 Days of Battle Us vs The Police. Berkaca pada Confessions dan Audition, aku jadi males nonton film Jepang lagi. Gimana ya, alurnya lambat jadinya rada ngebosenin. Film Jepang setauku gitu sih, rata-rata alurnya memang lambat. Itu yang bikin aku males nonton film Jepang, selain karena aktornya nggak ada yang brewokan.
Huh. Dasar wanita.
Tapi hal itu nggak berlaku pada Departures, film Jepang keluaran tahun 2008. Setiap adegannya berharga, dan nggak terasa tau-tau udah habis aja, walaupun durasinya dua jam lebih. Departures nggak ngebosenin dan sayang untuk dilewatkan layaknya diskon besar-besaran.
Apalagi film ini memenangkan banyak penghargaan, salah satunya adalah Oscars untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Padahal kabarnya, sang sutradara, Yojiro Takita, sempat nggak mau berharap banyak sama film ini, dikarenakan isu sensitif yang ada di dalamnya. Makanya aku jadi makin tertarik buat menikmati Departures.
Apalagi film ini memenangkan banyak penghargaan, salah satunya adalah Oscars untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Padahal kabarnya, sang sutradara, Yojiro Takita, sempat nggak mau berharap banyak sama film ini, dikarenakan isu sensitif yang ada di dalamnya. Makanya aku jadi makin tertarik buat menikmati Departures.
Sumber: sini |
Departures bercerita tentang Daigo Kobayashi (Matashiro Motoki), seorang pemain cello yang terpaksa harus pensiun dini alias dipecat karena orkestranya dibubarkan. Walaupun begitu, dia tetap (berusaha) bahagia dan memutuskan pulang ke kampung halamannya bersama istrinya, Mika (Ryoko Hirosue) yang cantik, setia, dan pandai bersyukur atas karunia Yang Maha Esa dengan cara memandang langit secara berseri-seri setiap harinya.
Dalam keadaan menganggur itu, Daigo kebingungan harus kerja apa. Dia merasa kalau dia nggak punya skill wahid apa-apa selain menggesek-gesek cello. Sampai akhirnya lelaki polos itu melihat iklan lowongan kerja yang..... unik.
Dalam keadaan menganggur itu, Daigo kebingungan harus kerja apa. Dia merasa kalau dia nggak punya skill wahid apa-apa selain menggesek-gesek cello. Sampai akhirnya lelaki polos itu melihat iklan lowongan kerja yang..... unik.
Pengalaman tidak diutamakan. Tidak ada batasan umur. Gajinya tinggi.
What the hell..... Siapapun pasti langsung engas kalau lihat lowongan kerja yang persyaratannya sebaik-hati gitu. Nggak kayak lowongan pekerjaan yang dulu aku pernah lihat.
Sampai sekarang aku masih bingung sih. ITU BUKA LOWONGAN PEKERJAAN APA BUKA PENDAFTARAN JADI FINALIS MISS INDONESIA?! Segala pake persyaratan cantik luar dalam. Masih kesel aja aku sama lowongan kerja itu njir.
Ah lanjut aja deh.
Daigo pun dengan semangat melamar kerja. Menjalani interview kerja yang bikin aku (dan menurutku penonton lain juga) ngakak. Dan dia salah menduga perusahaan tempat dia melamar kerja itu bergerak di bidang travel agent, karena namanya adalah agent NK. Ternyata tempat itu adalah agen pengurus kematian. Atau lebih tepatnya, agen perias jenazah.
Pertanyaan, "Bisakah orang yang tidak pernah melihat mayat, melakukan pekerjaan ini?” yang Daigo lontarkan, adalah awal dari keseruan Departures. Selanjutnya kita dipertontonkan tentang betapa pekerjaannya sebagai noukanshi alias perias jenazah itu bayarannya tinggi tapi dianggap sebagai pekerjaan yang sebaiknya dihindari.
Daigo pun dengan semangat melamar kerja. Menjalani interview kerja yang bikin aku (dan menurutku penonton lain juga) ngakak. Dan dia salah menduga perusahaan tempat dia melamar kerja itu bergerak di bidang travel agent, karena namanya adalah agent NK. Ternyata tempat itu adalah agen pengurus kematian. Atau lebih tepatnya, agen perias jenazah.
Pertanyaan, "Bisakah orang yang tidak pernah melihat mayat, melakukan pekerjaan ini?” yang Daigo lontarkan, adalah awal dari keseruan Departures. Selanjutnya kita dipertontonkan tentang betapa pekerjaannya sebagai noukanshi alias perias jenazah itu bayarannya tinggi tapi dianggap sebagai pekerjaan yang sebaiknya dihindari.
Menyaksikan pertunjukkan kematian dengan khidmat Sumber: sini |
Pegang tanganku~ Bersama jatuh cintaaaaa~ Oooooh~ Sumber: sini |
Film ini juga ngasih pengaruh yang cukup besar ke aku. Pas selesai nontonnya, aku ngerasa dunia tak lagi sama. Aku ngalamin momen langka, di mana aku mandangin Mamaku yang lagi tidur nyenyak, trus aku terngiang-ngiang tausiyah Mamah Dedeh di acara Mamah dan Aa Beraksi episode Sampai Kapan Berbakti Pada Orangtua. Habis itu aku.... menitikkan air mata. Nangis sesenggukan.
KAPAN LAGI SEORANG ANAK YANG URAKAN KAYAK AKU NGALAMIN MOMEN FANTASTIS KAYAK DI ATAS COBA?
Trus kematian di film ini, digambarkan dengan indah banget. Ritual merias jenazah itu jadi semacam pertunjukan teater. Daigo dan bosnya, Ikuei Sasaki (Tsutomu Yamazaki), seolah lebih tepat disebut sebagai seniman, bukannya perias jenazah. Mereka berdua dengan telaten menyeka tubuh jenazah, membersihkan kotoran-kotoran yang ada di tubuh jenazah, dan merias wajah jenazah itu layaknya merias model di Wardah Beauty Class.
KAPAN LAGI SEORANG ANAK YANG URAKAN KAYAK AKU NGALAMIN MOMEN FANTASTIS KAYAK DI ATAS COBA?
Trus kematian di film ini, digambarkan dengan indah banget. Ritual merias jenazah itu jadi semacam pertunjukan teater. Daigo dan bosnya, Ikuei Sasaki (Tsutomu Yamazaki), seolah lebih tepat disebut sebagai seniman, bukannya perias jenazah. Mereka berdua dengan telaten menyeka tubuh jenazah, membersihkan kotoran-kotoran yang ada di tubuh jenazah, dan merias wajah jenazah itu layaknya merias model di Wardah Beauty Class.
Para penghuni agen NK Sumber: sini |
Kalau Yojiro Takita diibaratkan travel agent, maka Departures adalah paket tour yang disediakannya (ini aku jadi sok-sok kayak travel blogger iya nggak sih huhuhu aku nggak cocok, ya). Kita diajak melakukan perjalanan wisata yang sarat akan pelajaran tentang pekerjaan, keluarga, kehidupan, dan kematian. Oh iya, konflik lain dari film ini adalah Daigo punya masa lalu yang kelam, yaitu ditinggalin Ayahnya yang pergi dengan wanita lain, di usianya yang waktu itu baru 6 tahun. Ngingatin aku sama Eminem yang ditinggalin Ayahnya juga, di usia 6 bulan. Pasti rasanya berat banget ditinggalin orangtua sendiri.
Dan seperti layaknya mantan kekasih, Departures mengajarkan aku akan banyak hal.
Di antaranya belajar tentang kebudayaan Jepang. Bahwa pengurusan jenazah di Jepang itu nggak menyeramkan. Tapi indah banget. Trus belajar bahwa pekerjaan mulia kayak merias jenazah itu malah dihindari, tabu, dianggap hina, rentan di-bully, memalukan, dsb. Dari yang aku baca (lupa pernah baca di mana huhuhu), biasanya orang yang melakoni pekerjaan itu adalah warga pendatang, biasanya dari Korea.
Serah terima kain basah untuk menyeka jenazah Sumber: sini |
“Daigo, kamu masih muda! Carilah pekerjaan lain!”
"Emang nggak ada pekerjaan lain sampai harus kerja jadi perias jenazah?"
“Mendingan kamu mangkal di daerah Vorvo Samarinda aja tiap malam deh, Go!”
Aku kasihan sama Daigo pas bagian itu. Sekaligus jadi malu sama diriku sendiri. Malu udah ngeluh capek sama kerjaan, yang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, itu nggak perlu dikeluhkan. Aku juga jadi ingat momen-momen waktu aku jadi jobless yang hopeless. Aku ngerasa nggak bisa apa-apa. Nggak punya bakat, aku blogger biasa. Hal sama yang dirasain Daigo pas dia bingung mau kerja apa lagi selain kerja jadi pemain cello. Aku jadi semakin sadar, kalau nggak ada satupun pekerjaan di dunia ini yang hina, selama uang yang dihasilkan dari pekerjaan itu halal. Halal, halal, halaaaaal! Mamah tau sendiri.
Berbicara dari hati ke hati dengan cello Sumber: sini |
Aku juga belajar tentang karakteristik cowok Jepang. Katanya, cowok Jepang punya kepribadian yang cenderung tertutup. Hal itu terbukti di Daigo, yang berkarakter introvert, selain polos dan penyabar. Cowok-cowok di sana juga nggak menye-menye dan nggak 'tunduk' pada kuasa perempuan. Terlihat di adegan waktu Mika meminta Daigo buat berhenti jadi perias jenazah. Bikin aku mikir kalau seandainya Departures di-remake Indonesia dengan kearifan lokal, pasti di adegan itu, ada debat menye-menye. Trus bakal ada dialog,
"JADI KAMU PILIH KERJAAN KAMU ATAU AKUUUUU? PILIH KERJAAN ATAU AKUUU?!!"
Ya, intinya di sana beda sama di sini. Gaya pacaran para kawula muda di sana juga beda. Kalau kencan, bayar sendiri-sendiri. Nggak ada antar jemput, karena selain di sana pada pakai alat transportasi umum, menurutku juga karena rasa ketergantungan mereka pada pasangan nggak 'selebay' pasangan di sini. Nggak ada ritual main-ke-rumah-pacar-bawain-martabak padahal baru pacaran beberapa hari, karena di sana prinsipnya main ke rumah pacar atau bawa pacar ke rumah itu, kalau udah yakin banget. Dan biasanya butuh waktu yang lama buat ngelakuin itu.
"JADI KAMU PILIH KERJAAN KAMU ATAU AKUUUUU? PILIH KERJAAN ATAU AKUUU?!!"
Ya, intinya di sana beda sama di sini. Gaya pacaran para kawula muda di sana juga beda. Kalau kencan, bayar sendiri-sendiri. Nggak ada antar jemput, karena selain di sana pada pakai alat transportasi umum, menurutku juga karena rasa ketergantungan mereka pada pasangan nggak 'selebay' pasangan di sini. Nggak ada ritual main-ke-rumah-pacar-bawain-martabak padahal baru pacaran beberapa hari, karena di sana prinsipnya main ke rumah pacar atau bawa pacar ke rumah itu, kalau udah yakin banget. Dan biasanya butuh waktu yang lama buat ngelakuin itu.
Dan dari film yang mengangkat tema tentang kematian ini, aku belajar tentang kehidupan. Belajar bahwa apapun yang terjadi di kehidupan kita, itu emang udah ditakdirkan. Udah menjadi suratan takdir. Semuanya udah diatur. Baik dan buruk masa lalu kita, itu pasti ada maksudnya. Jadi nggak perlu disesali. Dan bukankah hidup memang begitu? Hidup adalah perjalanan. Kita harus melangkah ke depan. Bukan berpijak di tempat yang sama alias nggak mau terima sama masa lalu kita.
INI AKU SOK BIJAK BANGET BIJIK.
INI AKU SOK BIJAK BANGET BIJIK.
Yaaaaaaaaa pokoknya gitu lah. Everything happens for a reason, kalau katanya Kak Ira, pas selesai nonton film ini.
Aaaaaak. Departures adalah tur yang menyenangkan!
Dan ya, aku bawa 'oleh-oleh' dari tur Departures. Yaitu ingatanku sama adegan di mana bos-nya Daigo yang ngomong kira-kira gini ke Daigo pas mereka lagi makan bareng.
"Yang hidup memakan yang mati untuk bertahan hidup."
Bikin aku pengen nimbrung di tengah-tengah mereka. Trus dengan lancangnya ngajuin satu pertanyaan ke bosnya Daigo.
"Apakah diri orang-orang yang serasa lebih hidup karena telah mematikan perasaannya terhadap hal tertentu, masuk dalam teori yang-hidup-memakan-yang-mati-untuk-bertahan-hidup? Mematikan nafsu belanjanya demi membuat isi dompet bisa hidup lebih lama pas akhir bulan, misalnya. Atau mematikan hasrat ngeblog-sampai-tengah-malamnya demi mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik.
Atau mematikan perasaan nggak enaknya sama orang lain, mematikan kepo sama urusan orang lain, mematikan rasa lebih mementingkan perasaan orang lain, demi merasakan hidup lebih menyenangkan dan melegakan. Apakah itu bisa dibilang, eh apa sih bahasa Jepang-nya Pak Bos, ya pokoknya apakah contoh di atas itu bisa dibilang contoh dari teori yang-hidup-memakan-yang-mati-untuk-bertahan-hidup, Pak Bos?"
Huahahaha. Pertanyaan. Macam. Apa. Itu. Cha.