Sumber: blog Chaos@work |
Tanggal 19 Mei kemarin, My Stupid Boss berhasil ngebuat aku ngeborong semua kriteria buruk nonton sendirian. Yaitu sebagai berikut:
1. Ngebut di jalan dan lari-larian di eskalator ngejar jam tayang film
2. Dapat seat satu-satunya di paling bawah paling pojok
3. Lapar belum sempat makan, dan
4. Berpose dengan muka lecek kayak di bawah ini,
Juga ngebuat aku ngerasain nonton bareng Ibu-hamil-yang-ngidam-pengen-lihat-Reza-Rahadian, yaitu Kak Dayah. Seminggu kemudian, yaitu Kamis kemarin, Kak Dayah minta ditemenin nonton. Kak Kris, suaminya, udah duluan nonton My Stupid Boss. Jadi, sebagai adek yang baik (dan cinta gratisan huahahaha), aku rela nonton My Stupid Boss untuk kedua kalinya.
Walaupun sempat dibumbui dengan drama. Kak Kris ngajak aku buat nemenin dia nonton X-Men: Apocalypse. Bikin Kak Dayah ngomong dengan posisi kedua tangan dilipat di atas perut menggelembungnya,
“Cha, kamu pilih kakak iparmu apa kakak kandungmu sendiri?!”
Aku yang lagi menggelinjang karena diajak nonton mutan, akhirnya cuma bisa monyongin bibir menerima kenyataan harus nemenin Kak Dayah nonton. Ending-nya, Kak Kris milih ikutan nonton My Stupid Boss. Dia takut nonton sendirian. Atau takut sama istrinya. Entahlah.
Tapi ketakutan Kak Kris, kayaknya masih wajar daripada ketakutanku waktu nonton di hari pertama. Aku takut sama selera humorku sendiri.
Penonton lain pada ngakak parah, sedangkan aku cuma ketawa anggun. Nggak menggelegar atau sampe mukulin lutut kayak waktu nonton Deadpool. Pas penonton lain cekikikan, aku cuma cengengesan.
Lebih takut lagi, pas Dina bilang suka sama film ini. Ada adegan yang bikin Dina ketawa sampe nangis. Bahkan dia berani kasih nilai 9 buat film ini.
What the hell! Kok bisa Dina yang bedebah-sok-cool-jarang-ketawa ngerespon kayak gitu sama filmnya? Yang aku ingat Dina ngakak sampe mau nangis itu, pas nonton parodi MV Pillowtalk-nya Zayn. Dimana lirik “Climb on board,” diganti jadi “It’s part porn.”
Kenapa Dina dan penonton lain ketawa ngakak? Kenapa filmnya nggak sesuai ekspetasiku? KENAPAAA?
“Kebingunganmu sama aja kayak pas aku nganggap lawakan dan cerita film Deadpool itu nggak memuaskan. Sekarang, posisi kita tertukar,” kata Dina pas aku protes habis-habisan sama responnya yang kelewat positif sama film ini.
Ya, responku sebenarnya juga nggak negatif sih. My Stupid Boss adalah film yang menyenangkan, walaupun nggak ngena di hati.
Kita mulai dari bagian yang menyenangkannya dulu.
Penilaian menyenangkanku sebenarnya udah terwakilkan sama Movienthusiast dan Rorypnm. Aku sependapat sama mereka. Tapi aku tulis lagi aja, ya.
Akting Reza Rahadian nggak usah diragukan lagi. Penampilannya dipermak habis-habisan demi meranin Bossman. Kepala hampir botak, berbadan tambun, berkumis lele, beraut muka menggelikan dengan lobang hidung yang suka ngembang kalau lagi ngomong.
Belum lagi kebiasannya yang suka ngomong bahasa Indonesia, bahasa Jawa, sampe bahasa macam pretelin, kletekin, plonga-plongo, contrang-contreng, di depan para karyawannya yang bukan cuma dari Malaysia aja, tapi juga dari berbagai negara lain. Absurd, nyebelin, perhitungan, curigaan, selalu ngerasa benar. Reza Rahadian berhasil ngebuktiin sekali lagi, kalau dia adalah aktor yang bisa bawain peran apa aja. Wow. Reza Rahadian jadi salah satu aktor kebanggaan Indonesia yang bisa dianalkan.
Eh. Diandalkan maksudnya.
Bukan cuma Reza, tapi pemain lain juga bisa dianalkan. Sialan, kurang huruf mulu! Maksudnya diandalkan. Bukan dianalkan yang maksudnya anus dimasukkin sama pen...
Lanjut. Akting Bunga Citra Lestari sebagai Diana, karyawan baru Bossman yang terdzalimi, juga patut diapresiasi tinggi. Walaupun ada beberapa adegan yang bikin dia kelihatan mencoba-lucu-tapi-nggak-lucu, tapi aktingnya nggak bisa dibilang jelek. Belum lagi chemistry-nya sama Alex Abbad, yang berperan sebagai sang suami, dapet banget.
Para pemain lain juga bermain nggak kalah bagus. Mereka bermain sesuai porsi dan memuaskan para penonton. Nggak ada yang berusaha kelihatan menonjol. Yang ada malah rasa dongkol. Sama Atikah Suhaime yang berperan jadi Norahsikin. Aku dongkol. Dia pake hijab lebar jadinya kok cantik dan kelihatan polos gitu. Kalau aku yang pake, dikira udah punya anak tiga. Nggak ada polos-polosnya. Huhuhuhu.
Dan yang paling menyenangkan adalah visualnya. Dengan dominasi warna hijau dan merah, bikin filmnya enak buat ditonton. Ngingatin sama film menyenangkan dari Perancis, berjudul Amelie. Keren!
Nah, yang bikin nggak ngena di hati, yaitu komedi yang disajikan kurang nendang, adegan ‘mengharukan’-nya terkesan dipaksakan buat masuk. Tapi aku nangis sih pas adegan itu. Trus, aku ngerasa nggak relate aja. Karena aku lagi nggak punya bos. Orang lagi nganggur gini. Waktu dulu masih kerja pun, bosku nggak seabsurd Bossman.
Tapi, aku ngerasa relate sama kata stupid. Ngebawa aku ke masa lalu. Tepatnya ke tahun 2013, waktu aku jadi Customer Service (CS) di salah satu service center handphone di Samarinda.
Dulu aku nganggap kalau jadi CS itu my stupid job. Harus dandan, harus pake sepatu hak tinggi, harus senyum padahal lagi PMS. Hal-hal itu kalau dilakoni sama anak perempuan yang nggak ngerti dandan dan gaya pakaiannya sok boyish, jadinya kacau. Lebih kacau lagi, sifat moody-anku ini harus dihadapkan sama user (sebutan selain customer) yang aneh-aneh.
Ada yang nggak nurutin peraturan service. Ada yang suka komplain pake urat alias marah-marah bahkan main ngebanting handphonenya di depanku. Ada yang nggak peka. Misalnya nanya udah buka atau belum padahal jelas-jelas terpampang bukanya jam 9 pagi, mesra-mesraan sama pacar di depanku yang lagi jelasin prosedur, sampe nyusuin anaknya sampe bikin aku nggak fokus.
Tapi, itu masih bisa dicengengesin daripada user-user sialan yang pernah aku dapat.
Salah satunya, yaitu seorang bapak-bapak yang ngeluhin display handphonenya, yang kalau dipake mutar video, gambarnya jadi pecah. Dengan keramahan dan keanggunan ala CS, aku meminta ijin buat ngecek handphonenya.
“Sebentar ya, Mbak. Saya bukakan videonya.”
Si Bapak grasak-grusuk nekan keypad hapenya. Beliau ngasih aku waktu yang cukup lama buat ngeliat kegrasak-grusukannya itu, dan ngedengar satu kalimat diulang-ulang mulu.
“Maaf ya, Mbak. Maaf sebelumnya.”
Setelah pengulangan kalimat yang entah keberapa, akhirnya si Bapak nyodorin hapenya itu juga ke aku.
Aku menyambutnya sambil nyunggingin senyum ramah. Lalu senyum itu berubah begitu ngeliat ke layar handphonenya. Berubah jadi muka cengo. Shock. Kaget. Nafasku seolah tercekat di tenggorokan.
Si Bapak memang nggak bohong. Gambarnya pecah kayak lagi disemutin di beberapa sisinya. Tapi yang bikin cengo, di videonya itu terpampang muka cowok dari samping. Nggak sendirian. Bareng sama cewek. Lebih tepatnya, dada cewek. Lebih tepatnya lagi, buah dada cewek. Menggantung dengan indah dan lagi dilolipopin sama si cowok.
“Nah gitu pecahnya, Mbak. Jadi nggak jelas gambarnya,” sambung si Bapak memecah keheningan. Memecah kecengoanku, lebih tepatnya.
NGGAK JELAS GIGIMU! IYA SIH NGGAK JELAS, TAPI KELIHATAN KALAU INI TUH VIDEO BOKEP! EMANGNYA NGGAK ADA VIDEO LAIN APA? AAAAK!
“Ngg... iya, Pak. Pe-pecah gambarnya. I-ini bi-biasanya harus diganti LCD-nya. Setuju sama prosedurnya ya, Pak? Ada yang mau ditanyakan? Nggak ada ya, Pak? Ini ada surat persetujuan reparasi. Mohon dibaca poin satu sampai enam, lalu diisi data dirinya. Saya tinggal dulu sebentar ya!”
Aku langsung ngacir datangin Kak Maya begitu selesai menyerbu si Bapak dengan banyak kalimat itu.
“Huahahaha. Ya ampun! Kamu jangan mau kalah, Cha. Liatkan juga film Jan Dara!”
Begitu respon Kak Maya. Sialan. Bukannya prihatin, malah ngetawain.
Dan respon Zai pas aku nyeritain itu juga sama. Ngetawain. Sambil bilang,
“Emang kayak gitu kalau kerja.”
Huuffh. Jadi baper.
Aku ngerasa Dika itu mirip Zai. Momen Diana curhat masalah Bossman ke Dika, dan Dika nanggapin dengan kalimat, “Dia emang gitu orangnya,” ngingatin sama masa-masa aku sering curhat sama Zai. Curhat betapa jadi CS adalah my stupid job. Di saat itulah aku benar-benar jadi apa adanya. Bisa lebih dekat sama makhluk cuek satu itu. Sifat melankolisku, sifat plegmatis Zai, intensitas ketemu kami, rasa saling sayang, dahulu keempat elemen itu hidup dengan damai. Namun semuanya berubah saat keputusan buat LDR menyerang.
Jujur, aku nyesal udah ngambil keputusan buat nggak dimutasi ke Balikpapan. Kalau aku mau dimutasi, aku nggak bakal sesibuk sekarang. Sibuk jadi pengangguran. Aku nyesal, kenapa sebelum resign, aku malah jadi admin. Nggak ada cerita-cerita seru yang bisa aku bagi sama Zai kayak waktu jadi CS .
Aku kangen sama my stupid job.
Kalau boleh lebay, aku ngerasa tahun 2016 ini tahun kehilanganku. Kehilangan pekerjaan dan kehilangan pacar.
Tapi, setelah sadar kalau aku masih belum kehilangan otak, aku mikir. Mikir soal penggalan lirik lagu Cindai-nya Siti Nurhaliza, yang jadi ost-nya My Stupid Boss.
“Derita hati jangan dikenang.”
Ya, yang dinyanyiin sama istrinya Datuk Khalid Mohammed Jiwa itu bener. Mengenang penderitaan itu jangan dilakuin. Apalagi diiringi dengan menyesali yang udah terjadi. Ditambah dengan mengenang mantan. Itu adalah pekerjaan yang bodoh. My stupid job yang sesungguhnya. Karena nggak ada gunanya sama sekali. Cuma ngebuat aku semakin ngerasa ngenes, dan bikin aku di situ-situ aja.
Aku harus yakin. Kalau masih banyak peluang dan pekerjaan yang lain.
Salah satunya, yaitu move on.