Sepotong Hati di Segelas Milshake Coklat (Bagian Enam)
- 08.08
- By Icha Hairunnisa
- 58 Comments
Sahabat bercinta yang berbahagia, maksudnya sahabat yang dipenuhi dengan cinta. Cerita bersambung dari WIDY kini hadir kembali. Dan sudah (atau baru?) memasuki bagian enam. Bagi yang ingin membaca asal usul lahirnya cerbung ini, bisa baca di postingan INI. Serta bagian satu sampai bagian empat cerbungnya, bisa dibaca di laman Yoga atau laman Wulan .
Dan bagian kelimanya bisa dinikmati di blog Wulan.
Lalu, selamat menikmati bagian enam ini sampai klimaks~
***
Namun usaha Agus tidak sampai di
situ. Ia masih percaya akan pertemuan-pertemuan berikutnya. Terlebih ketika Mei
bilang “See you”. Dua kata yang sangat bermakna bagi Agus. Yang menumbuhkan
harapan.
***
Agus berjalan ke parkiran dengan
langkah yang sangat lambat. Dengkulnya terasa begitu lemas seperti sehabis
masturbasi.
Ia masih memikirkan kejadian
tadi.
Agus sudah berusaha membuang rasa
malunya untuk meminta kontak Mei. Sudah merasa perkenalan mereka berjalan
mulus, semakin akrab saat ngobrol, lalu akhirnya yakin akan perasaan sukanya
terhadap Mei. Ingin melanjutkan ke tahap selanjutnya, pendekatan. Agar setiap kali kangen, ia bisa langsung
mengontak Mei tanpa uring-uringan.
Namun, dengan mudahnya Mei
mengatakan,
"Lain kali aja, ya. Kita juga baru kenal."
Kalimat yang tidak enak didengar.
Kalimat yang langsung meremukkan hati Agus. Bodohnya, Agus masih memikirkan
Mei.
Setelah itu, Agus mulai mencoba
untuk melupakan Mei sejenak, lalu menuju ke tempat motornya diparkir.
Di jalanan pulang, ia berteriak tak karuan sambil bernyanyi
random,
“Pandangan pertama, awal aku berjumpa... ARGGGHHHH!!!”
Kondisi jalanan lumayan lancar
sore itu. Tapi, begitu di tengah-tengah perjalanan, Agus terjebak macet. Ada
perbaikan jalan. Untuk melalui jalanan itu harus bersabar atau bisa memilih
jalur lainnya. Namun, banyaknya kendaraan yang memilih memutar dan melewati
jalur lain, membuat kemacetan semakin parah.
Anehnya, Agus tetap memilih
bertahan di tengah-tengah kemacetan. Saking muaknya dengan macet, perlahan-lahan
ia mulai terbiasa. Atau justru dia mulai mencintai kemacetan.
Agus mengeluarkan hape dari saku
kiri celananya, mengambil earphone di tas, dan memasangnya ke kedua telinganya.
Mencoba menikmati jalanan sore yang macet ini dengan mendengarkan musik. Lagu diputar
secara acak. Sedihnya, lagu-lagu mellow yang justru menemaninya sepanjang
kemacetan.
Sambil menikmati liriknya yang puitis dan melankolis, terdapat suara gaib yang muncul tiba-tiba di dalam kepalanya.
“LAGIAN KITA BARU KENAL”
“KITA BARU KENAL”
“BARU KENAL”
Ingatan tentang kejadian meminta
pin BBM di Widy Cafe terkenang kembali.
Ya, Mei memang baru mengenal Agus
sebentar saja. Tapi berbeda dengan Agus, ia merasa sudah cukup lama mengenal
Mei. Meskipun cara mengenalnya hanya memerhatikannya dari kejauhan.
Ada rasa menyesal karena telat
mengajak berkenalan. Ada rasa menyesal lainnya kenapa ia harus berkenalan.
Ia sempat berpikir Mei tidak
memberikan pin karena sudah memiliki pacar. Entahlah.
Agus kemudian sadar. Kalau perempuan cantik tidak mungkin jomlo. Hanya sekitar 20% saja pastinya.
Sepuluh persennya karena gagal
move on dari mantan, sedangkan yang 10% lagi karena seorang lesbian. Ia pun sadar betul akan hal itu. LGBT memang sedang marak akhir-akhir ini.
Tapi kenapa malah berharap terlalu
banyak?
Karena Agus sudah terlanjur suka.
Tidak begitu peduli meskipun Mei sudah memiliki pasangan, ataupun ternyata
seorang lesbian.
Terkadang, mengagumi atau
menyukai seseorang secara diam-diam dan memerhatikannya dari jauh tanpa
mengenal orang itu rasanya sudah cukup bahagia.
Tapi terkadang pula, bisa
mengajak kenalan seseorang yang kita kagumi itu lebih membahagiakan. Meskipun
pada akhirnya, perkenalan itu tidak berjalan dengan baik.
Baru saja ia mulai tertarik
dengan seorang perempuan. Baru saja harapan itu tumbuh.
Namun, seketika itu juga dia
harus menahan sesak di dada saat sadar akan beberapa kemungkinan. Mungkin Mei hanya ingin Agus
menjadi teman ngobrolnya di cafe.
Dalam artian lain, Agus terkena
“ngobrolcafezone”
***
Sesampainya di rumah, Agus langsung memarkirkan motornya begitu saja. Rasanya ia ingin sekali melupakan kejadian sore tadi. Tidur adalah satu-satunya cara yang terlintas di pikiran Agus.
Untuk melupakan senyum Mei.
Melupakan kacamata yang bertengger anggun di hidung mancung gadis bermata sipit
itu. Melupakan ekspresi lucu wajah Mei saat meminum frappuccino. Dan berharap
bisa melupakan semua percakapan dan perkenalan yang pernah terjadi di antara
mereka.
Agus memasuki rumahnya dengan
langkah lunglai. Ia bersyukur, di rumah tidak ada siapa-siapa. Ibunya mungkin
belum pulang bekerja. Jadi ia tidak perlu takut diomeli seperti biasa karena
pulang telat. Sesampainya di kamar, Agus langsung merebahkan tubuhnya. Ia ingin
mengubah skenario kejadian akhir di kafe tadi, walaupun hanya dalam mimpi.
Baru saja Agus larut dalam lelapnya, ada suara langkah kaki mengusik. Lalu suara pintu digedor.
"Gus... Gus! Buka pintunya! Bego amat dah segala dikunci!"
Ah, ganggu orang tidur aja!
Agus terbangun dari tidur.
Suara yang tidak asing lagi.
Suara yang mulai mengusiknya kembali setelah sekian lama.
***
BERSAMBUNG