Niatanku buat nonton film di
laptop bulukanku tadi malam buyar ketika aku iseng-iseng buka folder yang
isinya tulisan-tulisanku jaman SMP-SMK. Aku nemuin satu file Microsoft Word
berjudul Aku Yang Cantik, yang isinya tentang cerpen buatanku sendiri, atau lebih
tepatnya cerpen adaptasi bebasku dari komik Jepang koleksi Kak Fitri berjudul
Run. Bingung? Jadi gini, aku dulu suka banget sama satu komik yang judulnya
Run, khususnya di chapter yang judulnya Aku yang Cantik.
Ini komiknya,
Berkali-kali dibaca
gak bikin bosan. Sampe suatu hari aku mikir coba aja kalau cerita komik itu
dijadikan cerpen. Trus aku nyoba deh, aku yang ngerasa gak punya bakat buat
nulis cerpen. Serius, aku ngerasa aneh aja kalau nulis cerpen, aku sempat ngiri
sama Kartini yang lihai bikin cerpen tentang dia dan idolanya, Big Time Rush.
Atau sama Putri, yang rajin mosting di blog tentang kisah khayalannya sekolah
musik di luar negeri bareng One Direction. Aku gak bisa ngayal, gak bisa berimajinasi, gak bisa nyiptain
keadaan, bisanya nulis yang aku alamin atau lebih tepatnya bisanya curhat huhu.
Dulu waktu SMP kelas satu aku sempat aktif bikin cerpen, terinspirasi dari
sinetron-sinetron remaja yang lagi marak waktu itu trus kumodifikasi dengan
gayaku sendiri. Selang beberapa tahun
udah jarang nulis cerpen, malah rajin bikin catatan di facebook, bikin catatan
yang isinya pengalaman malu-maluin sampe pengalaman ngegalauin someone, dan
berlanjut nulis di blog sampe sekarang. Gairah buat nulis cerpen pun ngilang,
timbul perasaan aku-gak-bisa-nulis-cerpen-sebisa-aku-nulis-aib-di-blog. Tapi entah kenapa, waktu aku kegilaan sama
komik Run, aku nafsu banget mau jadiin itu cerpen, dan cerpennya ada dibawah
ini,
Aku yang Cantik
“Yang bener aja!
Gila kamu!”
Suara lantang Dita mengagetkanku.
Bukan hanya aku aja, sepertinya seluruh penghuni kelas yang masih tersisa juga kaget akan suara
lantangnya yang menarik perhatian itu. Ditujukan untuk siapa ucapannya itu? Ku
rasa di sini ga ada yang cari masalah sama dia. Semua pada sibuk membereskan
diri, mengingat bahwa bel tanda pulang sekolah telah berdentang sedari tadi.
“Tap-tapi..”
“Ah sudahlah, kamu pikir aku ini cewe
apa’an?”
“ Iya deh!”
Braakk!!!
Adegan pintu dibanting menutup
percakapan sengit itu. Ditambah dengan hentakan kaki Dita yang tak kalah
nyaringnya. Meninggalkan kelas
menyisakan keanarkisan. Lagi-lagi aku harus mengurut kedua telingaku. Dari tadi
pagi ni kuping ga ada istirahatnya! Suka duka menetap di kelas IPS.
“Eeeehh…
Damara ditolak yaa! Haha kasian, pantas dia seemosi itu! ” Niken membuka
obrolan, habis itu langsung mesem-mesem bareng Chiko. Aku menaruh sapu yang ada
di tanganku, lantas bergabung dengan mereka.
“Oh, jadi
tadi Dita ditembak Damara? Wow.. “
Chiko dan
Niken menganggukan kepala, lengkap dengan wajah mesem-mesem mereka. Hasrat
ingin tahuku semakin menggelora, membuat mulut ini ingin bertanya panjang
lebar.
“Ssttt..
jangan keras-keras, Na! Cewe sombong itu belum pulang..! Haha, tau nggak, tadi mukanya Damara
kayak kepiting rebus. Baru kali ini dia ditolak cewe! Banting-banting pintu segala lagi, anak kecil
banget ya? Hahahahaha!!”
Aneh banget
ni anak, tadi nyuruh aku jangan ngomong keras-keras, lah sekarang malah ketawa
ngakak. Niken pake acara mukul-mukulin meja lagi. Semarak banget. Aku jadi gak
ikhlas mulutku tadi dibekap pake tangan Chiko yang konon katanya kurang
higienis karena hobi makan ikan asin itu.
“Bukan kok,
enak aja! Dasar biang gosip! Gue cincang baru tau rasa loe!”
Sosok jangkung Damara tepat berdiri
di hadapan kami. Tangannya meraih kerah baju Chiko, membuat Chiko terangkat
lebih tinggi dari Damara. Niken agak menyingkir ke kiri sambil tertawa kecil.
Pemandangan seperti itu sudah biasa terlihat di kelas XI IPS 2 setiap harinya.
Chiko sering jadi bulan-bulanan Damara. Damara sebenarnya baik, cuman dia
paling ga suka dihina semena-semena, apalagi kalau hinaannya itu merempet ke
arah fitnah. Chiko orangnya memang suka nebak-nebak sembarangan, tapi ga semuanya yang dia tebak
itu ga betul. Kadang-kadang bener juga sih. Ah Chiko , jadi cowo kok mulutnya
ga bisa di-rem. Sekarang giliran aku yang mesem-mesem deh.
“Ma-maaf Dam.. Aku cuma bercanda aja kok..” alasan klise keluar dari mulutnya.
Damara pun
menurunkan Chiko ke haribaan semula. Mengacak-ngacak rambutnya sendiri,
mengambil tas ranselnya, lalu melangkah keluar kelas. Masih sempat-sempatnya
menyunggingkan senyum manisnya ke arahku dan Niken, pertanda pamit pulang. Hmm… Bad boy yang ramah.
“Tuh kan..
sudah ku bilang, jangan keras-keras Cha! Aku kan yang jadi kena getahnya! ”
Keningku
berkerut. Heeeeeeeeehhhh ini anak!
Baru aja
tanganku melayang mau mencubit dia, tiba-tiba Niken nyeletuk,
“Sayang
banget ya, padahal Dita cantik begitu.. hampir separo cowo di kelas ini yang
nembak dia, eeh ditolak. Semoga Damara jadi korban terakhirnya. Amin.” Doa
Niken selicik hati.
“Makanya
tuh.. jadi cewe kok jual mahal banget. Sifatnya keras juga. Kalau jadi perawan
tua macam Bu Isna guru sosiologi, baru nyaho!” Chiko menimpali. Lagi-lagi
kata-kata pedas keluar dari mulut embernya. Aku dan Niken tertawa serempak.
Dalam pikiran kami ternyata sama, sama-sama membayangkan kalau Ditha menjadi
perawan tua kayak Bu Isna.
Kalau
dipikir-pikir, benar juga sih ucapan Chiko tadi. Mau sampai kapan dia melajang?
Menolak puluhan cowo dari berbagai kelas. Mulai dari teman sekelas, lain kelas,
kakak kelas, bahkan adik kelas sekali pun.Dan tadi, Damara menyatakan cintanya.
Seandainya aku jadi dia, pasti aku tak akan bersikap seperti itu terhadap
Damara. Padahal, dengan Damara yang kurus dan keren itu… Mereka sangat serasi!
Ah cukup mengkhayalnya! Lebih baik
aku lanjutkan aktivitasku yang tertunda tadi. Ku ambil sapu yang tergeletak di
lantai. PIkiranku memang berkonsentrasi pada lantai kotor di hadapanku, namun
telingaku sepenuhnya mendengar percakapan kedua sahabatku itu. Ngegosipin orang
memang ga ada habisnya.
“Iya, memang
keras. Kalau membandingkan sifatnya, sudah pasti lebih cantik sifat Ina, deh! Coba lihat, sudah pulangan
sekolah gini dia masih rajin bersihin kelas. Padahal kita semua udah tau
sendiri kan kalau besoknya kelas ini bakalan kotor lagi. Pintar masak, ramah,
baik hati. Cantik deh pokoknya!” Niken mengedip-ngedipkan matanya ke arahku.
“Memang
andalanku cuma sifat kok.. Tapi sebaliknya, meski sifatnya sebaik apapun, kalau
tak pernah dipedulikan orang sih sama saja tamat, deh!” kilahku menanggapi
pujian Niken. Aku ga bermaksud merendah kok, memang kenyataannya begitu kan?
Mana ada yang peduli dengan cewe bertampang jelek sepertiku.
“Ya
itulah..!! Cowok-cowok!! Mereka itu hanya memandang cewe yang cantik! Cowo yang
menyadari kecantikan dari dalam seorang wanita yang ga cantik sih, hanya ada
dalam cerita novel! Langka..! Menyedihkan sekali menjadi wanita.”
Kali ini Chiko terlihat berapi-api ngomongnya. Ga nyadar kali ya kalau dia itu cowok. Dan ga
nyadar kali ya kalau omongannya itu lumayan nohok. Ah tak apa, aku sudah biasa.
Aku tau kok Chiko ga bermaksud buruk, mulutnya itu yang memang begitu.
Kulanjutkan
timpalan Chiko itu, disertai senyum yang ku usahakan tulus.
“ Yeaaah..
jadi kesimpulannya, kebahagiaan di dunia ini hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang cantik! Hahahahaha, menyedihkan sekali.. “
Konyolnya, habis itu kami tertawa bareng. Niken cuma terdiam,
kayaknya merasa bersalah, karena mengawali pembicaraan ini dengan menyertakan
aku sebagai objek yang diolok Chiko. Entahlah, yang jelas aku ga menyalahkan
Niken kok.
“Niken.. !”
Suara yang tak asing lagi. Pemilik suara itu, adalah Erick
anak XI IPA 1. Dia pacar Niken sejak kelas X sampai sekarang. Mendadak wajah
murung Niken berubah menjadi sumrigah melihat kedatangan pacarnya.
“Eh, Erick.
Ada apa?”
Sambil
cengengesan, dia mendatangi bangku tempat Niken duduk.
“ Maaf,
pinjam catatan Bahasa Inggris dong.., besok aku ada ulangan harian. Guru mata
pelajaran Bahasa Inggris kita sama, bukan?”
“Heeh, hari
ini aku ga ada nyatat. Males.” jawab Niken santai. Erick menggaruk-garuk
kepalanya, kebingungan.
Refleks aku
mengaduk-ngaduk isi tasku.
“Eh Rick,
aku ada nih!”
“Eh, terima
kasih ya!” Dengan kasar, Erick mengambil buku catatanku itu dariku. Aku menatap dia tulus, hendak memberi senyum.
Tapi…
“ Ayok ku
antar pulang. Sudah jam berapa ini.”
Niken
menepis tangan Erick dengan halus.
“Hari ini aku pulang bareng
teman-teman. Gapapa kan,Rick?”
Percuma, percuma. Percuma tadi ku
lempar senyum ke arah Erick. Percuma, dia juga ga melihatku. Semua cowok, tak
ada yang mau melihatku… Tak ada yang mau melihat wajah jelekku ini.
“Yaudah kalau gitu. Aku pulang ya.. Take care, hun.”
Cuupp!! Satu kecupan mendarat di
kening Niken. Cewe hitam manis itu tersipu malu, lantas cepat cepat mengusir
Erick keluar dari kelas. Bayangan Erick tak terlihat setelah itu. Niken pasti
senang banget tuh, pikirku.
“Ayok pulang yok, Na, Ko! Udah sore juga ni.. Ayok
cepetin..!” Aku tau Niken lagi salting.
“Huh lagaknya mau cepat-cepat pulang,
padahal masih kangen juga kan sama yayang Erick. Cie-cie yang punya pacar..
Jadi sirik gue!”
Diolok seperti itu, Niken memilih
jalan sendirian keluar kelas. Mukanya masih memerah karena malu.
“Chiko, kamu juga bisa kok dapat
pacar. Gayamu lumayan oke, tampang juga mirip-mirip Fandy Christian. Enak
yaa..” ujarku sambil mengunci pintu kelas.
“Ah enggak juga kok, Cha.” Chiko
mencibir. Kami berdua jalan beriringan, berusaha mengejar kepergian Niken.
Langit jingga kemerah-merahan sore ini menjadi saksi persahabatan kami. Bahagia
sekali, tapi sepertinya aku akan lebih bahagia bila wajahku sedikit lebih
cantik. Ya.., seperti Dita.
***
Pokoknya.. Ga enak punya wajah
jelek!!!
Dimana kamu diacuhkan, ga
dipedulikan, ditertawakan, dicibir, dipandang sebelah mata. Sebelum orang ingin
berteman denganmu, mereka harus melihat wajahmu seperti apa, apa pantas untuk
dijadikan teman. Mereka tak peduli sebaik apapun hatimu, sehebat apapun
prestasimu. Kalau mau dapat teman yang banyak, harus berwajah cantik.
Popularitas bisa didapatkan kalau wajahmu cantik. Cantik. Cantik. Cantik. Jika
tidak, silakan menangis menyesali wajah jelekmu.
Aku jadi teringat ketika aku masih
duduk di kelas sepuluh. Hidupku suram, tak ada yang mau berteman denganku.
Mereka datang kepadaku kalau ada perlunya aja. Seperti minta dibuatkan PR,
dititipin seabrek jajanan kalau aku ke kantin, dicontekkin. Di kelas aku jadi
pasif, ga ada seorang pun yang mengajakku ngobrol. Pulang sekolah oleh-olehnya
tangisan dan keluhan. Beda-beda tipis
sama Cinderela deh. Eh tapi bedanya, Cinderella itu cantik, kalau aku nggak.
Setahun aku menjalani masa-masa
mencekam itu. Untung aja pas kelas sebelas ini, aku dipertemukan dengan seorang
gadis rusuh bernama Niken. Dia duduk di belakangku. Hobinya bernyanyi lagu apa saja
dengan teman sebangkunya, Chiko. Berhari-hari aku ditawan oleh suara mereka
yang sopran kejepit itu. Sampai suatu ketika..,
“ Maaf, bisa diam sebentar ga? Saya lagi
mengerjakan soal ” tegurku sehalus mungkin. Aku takut menyinggung mereka. Tapi
tak bisa ku pungkiri kalau aku lagi kesal sama mereka pada saat itu.
“Loh, suka-suka kami dong! Toh, ini
bukan kelas kamu aja, ini kelas bersama! Semua bebas mengekspresikan dirinya
masing-masing! Lagian ga ada gurunya juga kan, huh sok!” Jawab cowok berambut
cepak, berkulit kuning langsat, menangkis ucapanku.
“Tapi ada saatnya dong berekspresi
itu. Ini saatnya belajar, bukan bikin ribut!!!” Benar-benar geram aku rasanya.
“Waaahhhhhh.. akhirnya kamu mau
ngomong juga sama kami..! Senangnya…!!!” Niken, pada saat itu berteriak kegirangan,sambil mencubit kedua pipiku. Tadi
geram,sekarang jadi bingung.
“Kamu Karina Dewantari kan? Cewe yang terkenal pendiam
waktu kelas satu itu kan? Waahh, akhirnya kamu ngomong juga.. Senangnya…! Kamu
kok sombong banget, udah dua minggu kita duduk dekatan tapi ga pernah teguran?
Kenalin, aku Niken Diah Pratiwi. Dan congor trotoar satu ini namanya Chiko.
Mulai sekarang kita temenan ya. Iih pipi kamu lucu, tembem tembem gimana gitu.
Iih lucunya..” Ujar Niken sambil menyunggingkan senyum lebarnya. Waktu itu aku
sama sekali ga menyangka reaksinya akan jadi begitu.
Yang jelas, setelah kejadian itu,
kami jadi berteman akrab sampai sekarang. Hihihhi, aku jadi senyum-senyum
sendiri.
Meski aku sudah punya sahabat, aku
masih belum merasa bahagia. Untuk seusiaku, seharusnya aku udah punya pacar.
Populasi anak cowok di kelasku memang banyak, tapi mana mau salah satu dari
mereka menjadi pacarku? Satu pun! Seandainya, aku sedikit lebih cantik, pasti
hidupku akan menyenangkan. Ya misalnya,
seperti….
“ Karina.. Mau pulang bareng?”
Eh, baru aja mau diomongin, udah
nongol. Panjang umurnya. Dita!
“ Mmm.. langit sudah gelap. Jalan
sendirian kan serem juga.. Mau?” Gadis cantik itu menyambung kalimatnya.
Tatapan matanya begitu mengharap.
Jadi, aku berfungsi sebagai
bodyguardnya dia? Huh, seharusnya dia minta tolong aja sama anak-anak cowok..
Aku menganggukkan kepalaku. Dia
tersenyum, semakin menambah kecantikan yang ada pada dirinya. Jadi bingung,aku
harus ngobrol apa nih? Meski kami sekelas, aku merasa kagok mau ngobrol sama
dia. Cewek secantik dia biasanya akan memperbincangkan fashion-fashion yang nge-trend saat ini, atau membicarakan tentang
cowo-cowo ganteng. Sama sekali bukan topikku.
Tak lama kemudian, Pak Tomi
mendatangi kami.
“Ehem, Dita..!”
“Apa, Pak?”
Pak Tomi menghela nafas sebelum
memulai pembicaraannya. Aku mundur beberapa langkah. Eh, ada urusan apa Dita dengan
Pak Tomi? Bukannya ini udah jam pulang sekolah?
“Lembar akhir dari tugas karya tulis
yang Bapak berikan minggu kemarin ternyata kosong! Kenapa?”
“Saya tidak mengerti.” Jawab Dita
dingin.
“Oh, kalau ada yang tak dimengerti
kan bisa tanyakan pada Bapak kapan saja..”
“Mungkin cara mengajar Bapak kurang
bisa dipahami. Bisa dikatakan Bapak itu payah. Permisi.”
Dita menggandeng tanganku, lantas
berlalu dari hadapan Pak Tomi begitu saja.
Glek! Judes banget! Kalau kayak gini
ke guru sih, bisa menjatuhkan nilai
sendiri.. Benar-benar.. sayang sekali. Padahal dia cantik. Kalau saja
sifat judes, jutek, dan sebagainya itu diperbaiki, pasti dia akan sangat
popular, lebih populer dibanding sekarang.
Ku lihat Pak Tomi
menggeleng-gelengkan kepala, dan aku tersenyum kearahnya. Paling enggak, citraku
di mata Pak Tomi masih baik. Aku ga mau dong dianggap sebagai murid pembangkang
kayak Dita gitu. Uuuppss.
Aku dan Dita pun berjalan beriringan.
Baru ku tahu jalan menuju rumah kami searah begitu dia memberi tahu alamat
rumahnya tanpa aku minta. Otomatis, perjalananku menyusuri jalanan bersama dia
akan jadi lebih lama dari yang ku kira. Ah, makin bingung aku harus mengobrol
tentang apa.
Langkah kaki kami terdengar jelas.
Jalanan sunyi sekali, ditambah dengan kami yang saling diam-diaman dari tadi.
Aku melirik ke arahnya, sesekali kagum dengan lekuk wajah yang dia miliki itu.
Hidung bangirnya. Mata bulat berbinarnya. Bulu matanya melengkung lentik. Bibir
tipisnya merah merona. Tulang pipinya yang menonjol sempurna. Ada darah Arab
dan Jerman terpatri di wajah pualamnya itu. Bayangan kami terpantul di badan
jalanan, memantulkan bayangan dua gadis yang sangat kentara berbeda. Seperti
bumi dan langit, desahku dalam hati.
“Eh Dita,”
Akhirnya kata itu yang terlontar dari
mulutku.
“ Iya.. Ada apa, Na?” Ditha menoleh ke arahku. Reaksinya
dalam menanggapiku berbeda dengan cara dia menanggapi Pak Tomi tadi. Jauh lebih bersahabat. Keraguanku untuk bisa
mengobrol dengan dia yang sempat berkecamuk dalam dada perlahan mulai hilang.
“Anu..menurutku, sebaiknya di hadapan
guru, kamu harusnya bersikap lebih baik.. Eh enggak, maksudku.. eh soalnya aku
kan seperti ini, jelek begini.. Jadi aku iri.. Dengan cantik aja, kamu sudah
jauh lebih bahagia daripada aku. Kan sayang kalau kamu bersikap ketus kayak
gitu.”
Aduh, aku jadi ngerasa hina ngomong begini..
“Karina, memangnya kamu pikir hanya dengan
cantik, kebahagiaan akan turun dari langit?” Dita menghentikan langkahnya.
Menatapku tajam.
“ A-aku.. aku ga berpikir sesederhana
itu.. “
“Asal kamu tau, aku benci wajahku!
Aku ga pernah merasa bahagia dilahirkan dengan wajah seperti ini! ”
Uups, apa dia serius? Aku ga habis
pikir, selain judes, dia juga gila!
“Hidup ini sangat sulit..Aku benci
hidup dengan wajah yang tak ku inginkan ini. Rasanya aku ingin mati aja, dan
dilahirkan kembali dengan sosok baru.. Andai aja.”
Benar-benar.. Itu sih namanya ga tau
diri! Aku menunduk, bingung mau ngejawab apa.
“ Hmm, Karina sih manis, imut. Aku juga iri. Seandainya aku jadi
kamu.” Lagi-lagi dia berkata yang aneh-aneh.
Sudah cukup dia menghina orang! Seharusnya aku ga mengatakan apa-apa sama
orang kayak gitu.
Padahal aku mengatakan itu demi kebaikannya. Sangkal aku!
“Eh Na, tunggu! Jalannya jangan cepat-cepat
dong..!”
Aku lari sekencang-kencangnya. Aku ga
peduli lagi sama dia yang takut sama jalanan gelap. Aku menulikan telingaku dari jeritannya
memanggilku. Lalu…
Ckiiitttt!!
Braaak!!
“Ditaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Tubuh Dita terbaring lemah di aspal
jalanan, berlumuran darah. Aku mencari asal dari penyebab Dita jadi begini, dan
ku temukan sebuah bus melaju kencang di depan kami.
Ini… tabrak lari.
Keegoisanku tadi mendadak luruh. Aku
panik, berusaha meminta pertolongan. Berteriak, menangis, sudah. Tapi tak ada
yang mendengar, tak ada yang peduli.
Jalanan ini memang jauh dari pemukiman penduduk.
“Dita, bertahanlah.. Bertahanlah..”
Tak ada pilihan lain, aku harus membopongnya, membawanya ke rumah sakit. Ketika tanganku meraih tubuh Dita, tiba-tiba..
Hah? Apa ini? Kenapa tubuhku mendadak
memutih, bahkan.. transparan! Tembus pandang, aku ga bisa memegang badanku
sendiri.. Tuhan, apa ini???
Kini mana tubuhku? Ini hanya roh ku,
mana jasadku? Serius, aku serasa kosong! Semua yang kupegang tak bisa ku
genggam. Cepat, mana tubuhku? Sebenarnya siapa yang mati, aku atau Dita?
“Tubuh ini pun kosong, Na.. Tolong..”
Aku tersentak. Suara itu mengejutkanku. Suara yang ku kenal.
Kenapa kami masih bisa saling berkomunikasi? Bukannya Dita sudah mati? Lagian.. bukannya
tadi dia sendiri yang bilang ingin cepat mati kan?
“Kalau begitu.., tubuhmu boleh aku
minta dong?”
***
“Dia sudah sadar!”
“Yang ini masih hidup!”
Kubuka mataku perlahan. Para petugas berseragam putih ada di hadapanku.
Mereka sibuk menanganiku, seperti menangani orang mau mati saja. Padahal yang
mau mati kan bukan aku. Aku baik-baik aja kok.
“Ayo cepat tangani ini, yang itu
nanti saja!” tukas salah seorang petugas. Lalu aku dimasukkan ke dalam mobil,
yang baru ku tau namanya mobil ambulans setelah aku masuk ke dalamnya.
Samar-samar terlihat jasad seorang gadis
berkuncir kuda, berpipi tembem, berbadan kurus, dibiarkan tergeletak di aspal
yang dingin itu. Itu aku!
Bahkan sampai aku mati pun, masih ga
ada yang peduli denganku… Keputusan ini mungkin yang terbaik. Aku sudah lelah
menjadi yang teracuhkan.
Selamat tinggal diriku…
***
Ranjang rumah sakit terasa dingin.
Selalu. Sudah hampir sebulan aku terbaring di sini, namun aku masih belum
terbiasa dengan tubuh baruku. Ya, sudah hampir sebulan juga aku mendiami tubuh
Dita. Sejak kejadian itu, tubuh Dita resmi menjadi milikku. Dan tentu saja
kecantikannya juga. Benar-benar absurd, Tuhan mewujudkan impianku dengan cara
ajaib seperti ini.
“ Dita, bagaimana keadaanmu? Udah
agak baikan?”
Kedatangan Mamanya Dita membuyarkan
lamunanku. Aku jadi kelagapan.
“Su-sudah Ma.. terimakasih karena
telah merawatku sebulan penuh ini.. Makasih Ma.” Basa-basi yang kuharap
berhasil.
“Ta? Serius kamu bilang begitu? Oh
Mama tak percaya ini! Dita sekarang ga judes lagi sama Mama. Oh Nak, Mama sayang sekali sama kamu,..”
Mamanya Dita langsung memelukku. Erat sekali.
Hah? Lagi-lagi Dita bikin aku ga
habis pikir. Ga cukup semua cowo di sekolah dia jutekkin, bahkan Mamanya sekalipun
tak luput dari kejutekkannya. Benar-benar makhluk Tuhan yang ga pandai
bersyukur.
Dengan sigap ku respon pelukan hangat itu. Tak
terasa air mataku menetes. Perlu kalian
tau, bahwa aku ini yatim piatu sejak kelas enam sekolah dasar. Ayah Ibuku meninggal
dalam kecelakaan lalu lintas. Sejak saat itu, aku tinggal dengan Bibiku bernama
Bibi Maura. Tapi lagi-lagi aku harus ditinggal. Bibi Maura sakit jantung, dan
meninggal setahun yang lalu. Aku pun mulai terbiasa hidup sendiri, tanpa kasih
sayang seorang Ibu. Haha, betapa menyedihkannya kan aku?
“ Mama senang sekali.. Musibah ini
ternyata membawa hikmah. Oh iya, kata dokter, besok kamu sudah boleh pulang. Turun sekolah ya, teman-teman di
sekolah udah pada kangen sama kamu tuh.” Sambungnya sambil membelai kepalaku.
Aku ga bisa berkata apa-apa, hanya anggukan.
Salah-salah ngomong nanti aku bisa menciptakan image baru pada Dita. Hmm…Mamanya Dita tak kalah cantik. Hidung
bangirnya, matanya, bibir tipisnya, semuanya benar-benar mirip Dita. Betapa beruntungnya Dita, dikaruniai Mama
secantik dan sebaik ini.
Sepertinya menjadi Dita akan
menyenangkan!!
***
Hari ini hari pertama aku masuk sekolah
dengan tubuh baruku. Kulangkahkan kakiku ragu menuju kelas. Tegang.
“Eeh, itu Dita!”
“Dita datang..!!”
Sorakan itu menyambut kedatanganku.
Tapi aku tak peduli, aku lebih memilih mencari sesuatu. Sesuatu yang penting.
Kalau tak
salah, bangku Dita posisinya di sebelah kiri bangkuku. Eh tapi dimana? Aku
kelagapan. Mataku masih mencari-cari.
Bangkuku..
sudah ga ada.
Ina.. seakan dari awal memang ga ada di
kelas ini. Yah, memang. Keberadaanku memang ga pernah membuat mata orang
sejenak menatapku. Bahkan kabar kematianku pun hanya dianggap angin lalu.
Hahaha, seharusnya aku sudah menduganya dari awal. Bukannya malah menangis
kayak gini. Bodoh.
“Hai Dita.., kamu udah sehatan?”
Cepat-cepat ku usap air mataku. Alia
dan Ekfar menanyakan kabarku. Dua anak ini biasanya kan pilih-pilih dalam
berteman. Kenapa dia mau ngobrol denganku? Oh iya, sekarang kan aku bukan Icha,
aku Dita. Si cantik Dita!
“Eh.. iya lumayan..”
“Syukurlah.. berat juga ya bagimu.
Sabar ya.” Aku tersenyum mendengar ucapan Alia yang terkenal sombong itu. Dulu
waktu aku masih menjadi Icha, boro-boro dia mau ngomong sama aku, menolehkan
kepala ke arahku aja rasanya enggan banget.
Tak lama datang Gizka. Anak itu cukup
populer. Aku semakin kikuk.
“Eh,
mau ga pulang sekolah ini kita nongkrong di Poirot Cafe? Seru loh, banyak cowo-cowo gantengnya. Dita, datang
ya!”
“ Giz, dia kan baru sembuh, masa
disuruh ngopi-ngopi?” Ekfar akhirnya buka suara juga
“Ah disitu bukan cuma kopi aja kok,
ada jus buahnya juga. Lagian pasti seru kalau Dita ikut. Dita juga bakalan enjoy.. Dia butuh hiburan. Iya kan Ta?”
Diajak kongkow oleh genk terpopuler
di sekolah? Siapa yang mau nolak?
***
Dari tadi pagi aku ga ada ngeliat
sosok Niken maupun Chiko berkeliaran. Tiga hari belakangan ini, aku gak bisa
ngobrol dengan Niken dan Chiko. Aku tau
betul kalau Niken kurang suka sama Dita. Sudah pasti Chiko juga begitu. Jadi,
ga mungkin kan aku datang ke mereka dengan wujudku seperti ini? Aku bukan Ina lagi. Huufhh, cukup sedih sih.
Mataku menyapu seluruh koridor kelas.
Pandanganku tertuju pada cowo manis berlesung pipit yang tengah merogoh sesuatu
dari loker. Boleh kan kalau sekedar
menyapanya?
“Selamat pagi, Erick!”
“Eh? Se-selamat pagi..”jawabnya
kelagapan, lengkap dengan wajah bersemu merah. Beneran bersemu merah.
Hah? Ada apa sampai Erick begitu? Apa
sapaanku tadi terlalu nyaring?
Oh iya, Dita dan Erick kan ga saling kenal.. Bodohnya!!
Aku jadi salah tingkah. Cepat-cepat
berlalu dari hadapan Erick. Sepanjang perjalananku menuju kelas, aku berulang
kali cekikan membayangkan wajah Erick barusan. Lihat nggak? Tampang Erick yang
terpesona ketika aku menyapa dia? Ketika aku sebagai Icha, mau lihat pun tidak…
Hihihihi
“Selamat pagi semuaaa!!!” sapaku
ceria ke seluruh penjuru kelas
“Pagi, Dita.. Makin cantik aja!” Rio
mencolekku dari belakang.
“Mmm benarkah? Makasih kalau gitu.”
“Dita.. ayok gabung sini! Rame loh..”
suara Alia, Ekfar dan Gizka menyusul. Aku pun duduk di antara mereka. Sungguh
suatu kebanggaan bisa diajak bergabung.
“Dita kelihatan lebih manis daripada
yang dulu ya..?”
“Ah masa? Menurutku aku sama aja
seperti yang dulu..” sahutku merendah. namun tak dapat ku pungkiri, pujian dari
Ekfar itu membuat aku tersanjung.
Menyenangkan sekali, ketika semua
mata tertuju padaku, ketika semua memperhatikanku. Mengajak ngobrol, bercanda
bersama. Ngobrol dengan banyak anak cowok yang dulu sering mengacuhkanku. Oh,
inikah yang dirasakan Dita? Kenapa dia ga bersyukur dengan kebahagiaannya ini?
“Mmm Dita, bisa bicara sebentar?”
Ervan? Mau apa atlet basket dari
kelas sebelah ini menghampiriku? Ada urusan apa?
“Eh, iya. Ada apa ya?”
Sempat speechless dengan kehadiran Ervan beserta temannya, Adi. Mereka
anak XI IPS 1, sama-sama atlet basket kebanggaan sekolah. Aku mohon permisi
pada Alia, Ekfar dan Giska untuk keluar kelas sebentar.
“Eh enggak,eh Dita, ada seseorang
yang kamu suka sekarang ini gak?” Ervan mengawali pembicaraannya. Di sebelahnya
ada Adi, terlihat kasak kusuk. Mereka keliatannya gugup. Seharusnya aku yang
gugup dong, bukan mereka. Ditanyai seperti itu membuat adrenalinku terpacu.
“Ngg.. masih bertepuk sebelah tangan kok,”
‘”Oh gitu...”
Aku melingkarkan tangan seperti orang
kedinginan, menutupi kegugupanku. Tak sampai disitu, Ervan masih melanjutkan
ucapannya.
“Katakan saja.. pada cowok itu! Aku
pikir.. aku pikir ga ada cowo yang bakal menolak Dita.” Ervan pun menutup
perbincangan kami, lalu pergi melenggang. Keduanya masih terlihat kasak-kusuk.
Meninggalkan aku yang terpaku sendiri.
Aku pun… berpikir kayak gitu juga
kok, Van.
***
Sore ini tampak sepi. Niken dan Chiko
udah pulang dari tadi. Semenjak sosokku ditemukan tewas waktu itu, mereka jadi
jarang nongkrong di kelas sepulang sekolah. Wajah mereka murung, mungkin karena
merasa kehilangan. Mereka menganggap bahwa kematianku disebabkan oleh Dita.
Yah, itu memang benar, tapi ga sepenuhnya sih. Pantas aja Niken dan Chiko
semakin membenci Dita. Ah, mereka ga tau
kalau sebenarnya yang mereka rindukan kini berada di tubuh orang yang mereka
benci.
Aku jadi kepikiran soal kejadian
kemarin. Terngiang-ngiang di kepala. Benar-benar menganggu konsentrasi. Bukan,
bukan tentang wajah Erick yang terpesona melihatku. Bukan juga tentang Giska
dan kawan-kawan yang mendadak akrab. Apalagi tentang wajah Rio, Hendri, Adi,
atau Ervan yang memikat. Bukan itu !!
“Katakan saja.. pada cowok itu! Aku pikir.. aku pikir ga ada cowo yang
bakal menolak Dita.”
Ah, itu yang ada dipikiranku! Itu
yang mengangguku! Itu yang membuyarkan konsentrasiku!
Dia ada disana, masih terpekur di
sudut kelas sejak tadi. Yak, ini saatnya Na!
“Ada apa, sih?”
Aku tersentak. Mood-nya sedang jelek nih.. Perasaan, dia jarang banget ketus sama
orang, apalagi sama cewe. Hmm oh iya, mungkin masih sangkal gara-gara kejadian
itu.
“Mmm.. yang waktu itu, maaf ya
Damara!”
Malu banget, sumpah malu banget…
Sekarang aku berdiri tepat di hadapan Damara, mengajaknya bicara, pake acara
menundukkan kepala meminta maaf lagi!
Yang jelas, aku hanya menunduk dan terus menunduk. Aku takut melihat
reaksinya. Pasti dia menertawakanku!
“Jangan-jangan.. kamu berubah
pikiran?” ujarnya, pas banget kena hatiku
“Eh, iya.. begitulah..”
“Kamu terima? Jadi oke ya?”
Ku beranikan diri untuk mendongakkan
kepala, lantas mengangguk. Damara.. Damara tersenyum! Manis sekali.
“Asyik ! Kalau gitu.. hari minggu ya.
Jam 7 malam di Djoerkop. Jangan sampai ga datang ya,” Damara melambaikan
tangan, lalu pergi keluar kelas menenteng ransel kesayangannya.
Walaupun bayangan Damara tak terlihat
lagi, tapi kedua pipi ini masih saja bersemu merah. Hebat… Inikah yang namanya
janjian nge-date seperti yang ada di
film-film?
Serasa mimpi…
Aku.. merasa beruntung menjadi Dita!
***
Hari yang kunantikan akhirnya tiba. Disini
aku duduk manis menunggu kedatangan Damara, ditemani secangkir coffee lattee dan sepiring kentang goreng.
Heiii… Apa baju yang kupakai ini
bagus? Bagaimana dengan rambutku? Apa sudah rapi? Kalau lipstick ini bagaimana?
Apa cocok di bibirku? Apa aku tampak cantik memakai riasan make-up ini?
“Dita..”
Suara yang berat dan cenderung
kebapakkan itu memanggilku. Itukah Damara? Aku menolehkan kepala ke arah suara
itu tanpa ragu.
“Syukurlah.. Aku ditelepon Damara.
Setengah percaya setengah nggak. Ternyata aku benar-benar bisa ketemu dengan
Dita, kembang XII IPS 2.”
Hah? Mana Damara? Ini beneran
Djoerkop Café kan? Ini sudah jam 7 kan? Perasaan aku janji bertemu dengan
Damara di waktu dan tempat yang ga salah. Kenapa yang datang malah lelaki
berpostur tinggi besar menyeramkan ini?
“Eh, kamu tau aku nggak? Aku Fahreza,
kelas XII IPS 3.. Mungkin kamu sudah dengar dari Damara. Damara cerita sama
kamu kan sebelumnya? ”
Nggg? Aku benar-benar ga ngerti. Apa
hubungannya kakak ini dengan Damara? Apalagi dengan aku? Ku gigit bibirku
sekuat mungkin. Aku kalut.
“ Kenapa diam aja? Udahlah, aku juga
senang kok bisa ketemu kamu. Haha aku jadi nggak enak, kamu berdandan secantik
ini demi aku..”
Kakak ini,
Kakak siapa namanya? Oh iya, Kak Fahreza. Tangan kokohnya merangkulku. Bukan merangkul,
mungkin lebih tepatnya mencengkeramku. Karena aku tak bisa berbuat apa-apa lagi
setelah diginikan. Dingin terasa. Yang ada aku malah terpaku bingung. Ingatanku
melayang kemana-mana, termasuk ke…
“Kamu terima? Jadi oke ya?”
Ternyata..
yang dibicarakan Damara itu, INI?? Pantas aja Dita marah..
Gimana dong?
Aku udah terlanjur bilang oke sih..
Lagian, dia
keliatannya bahagia banget. Aku harus gimana?
“Hmm.. hobi
memasak, rajin. Ternyata Dita secantik yang kubayangkan..”
“Ah.. eh
iya. Hehe..”
Kak Fahreza
semakin memperkuat cengkeramannya di bahuku. Wajahnya mendekat ke wajahku.
Beneran, aku ga bisa berkutik. Hanya bisa memejamkan mata, berharap setelah aku
buka mata, aku sudah tiba di rumah. Bukan disini, bukan bersama cowok
menyeramkan ini!
“Ya.. Cewe
itu yang terpenting cantik dan feminin.. Yah, seperti kamu lah. Sungguh
beruntung kamu jadi milikku sekarang. Mimpi jadi kenyataan. Hahahaha”
Huaaaaaaaaaaaaaaaaaa…..
Gimana nih? Damaraaaaaaa!!!!
***
“Kamu
ngomong apa sih? Kamu kan udah bilang oke.”
Aku nekat
mendatangi Damara (lagi?!) pada jam istirahat pertama. Rencananya, aku pengen
protes marah-marah ngomel-ngomel tentang masalah hari minggu kemarin. Tapi
kenyataannya? Kenekatanku dibayar dengan jawaban se-simple itu.
“I.. Itu..”
“Pokoknya,
aku ga bisa bilang apa-apa.. Aku sudah terima motornya segala sih,”
Apa? Ngomong
apa sih Damara? Aku ga ngerti, ga ngerti, sama sekali!
“Katanya,
kalau aku bisa ngenalin kamu ke dia, aku bakal dikasih motor… Kalau kamu mau nolak
dia, bilang aja sendiri! Aku lepas tangan.”
“ Masa sih…
Tap-tapi kan..” sekali lagi aku menyangkal.
“ Kenapa
ragu-ragu gitu? Ku pikir kamu orangnya lebih tegas.. Hmm, nggak jelek kok!
Kalau kamu jadi pacarnya, bakal disayang sama yang lainnya juga kok.”
“ Ja-jadi…”
“Kirain kamu udah pertimbangkan hal itu
matang-matang. Makanya kamu terima, trus bilang oke. Lagian Fahreza itu baik
kok, macho. Kamu ga bakal nyesal,
deh.”
Ternyata
Damara orangnya seperti ini? Sial!! Aku lantas pergi meninggalkan Damara dengan linangan air
mata. Bukan dengan hentakan kaki tanda kesal seperti yang dilakukan Dita waktu
itu. Aku ga berani mengungkapkan kekesalanku, beraninya hanya di dalam hati
aja. Aku tak setangguh Dita…
Aku kecewa… Dia hanya menganggapku
tak lebih dari sebuah motor. Aku ga tau
apa-apa… Lebih baik selamanya aku mengidolakannya, daripada aku tau Damara yang
sebenarnya.
Mungkin benar kata Damara. Mungkin
aja Kak Fahreza lebih bisa menjagaku. Kemarin pas aku bilang aku harus pulang
sebelum jam sepuluh malam,
dia langsung mengantarku pulang. Tapi, kemungkinan juga aku ga akan
menyukainya. Kalau sudah begini, gimana dong??
Daripada aku berlarut-larut dalam
masalah ini, lebih baik aku bergabung aja dengan Niken dan Chiko. Dulu sewaktu
aku masih menjadi Ina, mereka sering membantuku menghadapi masalah, baik yang ringan maupun
yang berat. Huuuffh.. semoga mereka bisa membantuku kali ini.
Kudatangi bangku Niken sambil
mengulas senyum,
“Eh maaf mengganggu sebentar..
Boleh?”
Niken dan Chiko dengan kompak menoleh
ke arahku. Tatapan mereka sinis banget, tapi itu ga membuatku gentar untuk
bercerita kepada mereka.
“Hmm! Ada apa ya??” Niken menanggapiku
dingin.
“Begini…”
Aku pun memulai ceritaku. Tanpa
menyertakan nama, tempat, dan waktu. Hanya sekedar garis besarnya aja. Chiko
mengangguk-ngangguk tanda paham, sedangkan Niken bersungut. Tampang premannya
itu masih betah menempel. Wow, serem juga sahabatku ini kalau lagi judesin
orang.
“Kamu bingung harus gimana? Percuma
kamu tanyakan kepada kami, kami bukan
dokter atau ahli cinta.., apalagi dukun cinta.. Hahahahaha” Tawa Chiko
menggelegar.
Sudah kuduga, Chiko tidak pernah bisa
serius dalam menanggapi curhatan orang.
“Repot ya, yang lagi laku!!” Niken
menimpali, masih dengan tampang dingin. Aku tersentak. Ga biasanya dia ngomong
kayak gini.
“Aku sih.. selama ini ga pernah ada
cowo yang menyatakan cintanya padaku. Jadi, ya mana ku tau!! Oh ya, bukannya
kamu sudah terbiasa menghadapi situasi seperti itu??”
Pertanyaan Niken tadi sukses mengena
di hatiku. Itu.. itu bukan Niken yang ku kenal..
Tak lama, datang Erick menjemput
Niken. Chiko pun ikut keluar kelas, meninggalkan aku.
“Eh, Niken..!!” Ku harap dia masih
mau berbicara denganku. Sekali ini saja!
“Tolong deh… jangan sok akrab
panggil-panggil namaku!”
Niken keras juga.. Ga kalah keras
dari Dita. Ku lihat dia masih bersungut sementara Chiko terus menggodanya.
“Gapapa nih kita pulang? Bukannya dia
lagi ada perlu sama kamu?” Tanya Erick.
“Biarin!!”
“Loh, tapi…”
“Katanya dia lagi kebingungan
didekati cowo yang ga dia suka.. Buat apa coba dia konsultasi sama aku, heh??”
ujar Niken. Erick langsung menatapku.
“Hahahaha, mungkin cuma mau pamer…
Yuk pulang.” sambung Chiko, benar-benar menusuk. Seperti biasa setelah
melontarkan ucapan pedasnya, dia mencibir kemudian pergi.
Niken menarik tangan Erick
mengajaknya pulang segera. Erick masih tak bergeming, masih tetap menatapku…
***
Mungkin sulit memiliki teman dekat
cewek, dengan posisiku sebagai Dita. Aku tau rata-rata cewek yang ada di kelas
XI IPS 2 begitu membenci kehadiran Dita karena sifat judesnya itu. Dia memang
cantik, tapi tak pernah mau membuka hatinya untuk berteman. Sudah tau kalau
Dita nya begitu, cowok-cowok di kelas tetap selalu menanti kedatangan Dita,
memanjakan Dita. Hal itu mungkin jadi salah satu pemicu terbesar kebencian
anak-anak cewek kelas XII IPS 2. Bukan hanya di kelasku, di kelas lain pun juga
begitu. Dita, si cewek kesayangan anak laki-laki SMA Negeri 1, begitu gumaman
mereka ketika melihat Dita lewat. Mereka iri, lalu jadi benci.
Kalau aku yang dulu, mungkin aja aku
akan bersikap seperti Niken. Akan mengatakan hal yang sama pada Dita..
“ Apa disini ada Kak Dita?”
Lamunanku terbuyarkan. Aku menoleh ke
arah suara, dan ku temukan sesosok cowok berambut cepak dengan setelan seragam
sekolah yang rapi. Aku ga kenal siapa dia... Ada urusan apa dia mau ketemu aku?
“Ini Kak, ada pesan dari Kak Fahreza.
Katanya hari ini ada ekstrakulikuler, jadi mohon ditunggu sampai selesai. Hmm
yasudah, saya permisi dulu.”
Setelah kepergian adik kelas tadi,
kelas mendadak gaduh. Beberapa anak memperbincangkan siapa Kak Fahreza. Aku
pura-pura ga dengar aja, itu sepertinya lebih baik.
“Kak Fahreza yang itu kan? Wah..”
“Waaahh… Padahal ku pikir Dita yang
sekarang ini udah lebih enak diajak ngobrol.. “
“Sekarang udah ga bisa lagi ya..
Sayang banget.”
Sekarang aku benar-benar ga bisa
menulikan telingaku. Omongan mereka begitu bikin penasaran untuk disimak. Ada
yang harus ku tanyakan. Harus.
“Eh Rio, Fahreza itu.. orangnya kayak
gimana sih?”
“Ooh.. jadi selama ini kamu jalan
sama dia tanpa tau apa-apa?” Tanya Rio.
Hah, pertanyaan yang tak perlu
dijawab. Dia pasti sudah tau begitu ngeliat raut wajahku ini kok.
“ Pokoknya ya.. anak-anak cowok di
sekolah ga ada yang berani melawan Kak Fahreza deh! Dia itu jagoan taekwondo… Hebat Dita, aku pun udah ga berani
menyentuhmu sedikit pun..”
Gitu ya?? Seperti
disengat ribuan watt listrik rasanya… Memang sih, dia besar dan menakutkan.
Tapi.. aku ga menyangka kalau dia sehebat itu.
Gimana dong????
“Rio, Hendri, tunggu!!
Eh aku minta tolong dong.. Mau nggak temani aku ke tempat dia untuk
menolaknya??”
“Hah? Itu
mustahil, Ta. Aku nyerah, deh. Meskipun aku senang kamu minta temanin sama aku.
Tapi, aku belum mau mati muda sih… Maaf ya Dita.”
Aku
mengangguk pasrah. Rio yang atlet basket sehebat itu aja sudah menyerah duluan.
Berarti, aku ga bisa menolak Kak Fahreza sembarangan. Apa aku harus pacaran
sama dia?
Ssssttt!!
TIDAK!! Tidak akan!!
Jadi, aku
harus bagaimana??
Otakku sudah
buntu. Mau meledak rasanya.. Aarrrggghhhhhhh!!!
“Kamu sedang
apa, Dita? Sudah jam segini kok belum pulang??”
Pak Tomi
mengagetkanku. Sontak aku melirik ke jam tanganku. Pukul 18.05. Astaga, sudah
jam segini ! Memikirkan bagaimana cara terbaik menolak Kak Fahreza ternyata
menghabiskan banyak waktu.
“Anu Pak,
saya lagi ada masalah…”
Ga ada
salahnya kan aku mencoba curhat dengan Pak Tomi?
“ Ada
masalah apa? Kalau boleh Bapak tau?”
“ Mmm..
Bapak tau Fahreza anak kelas XII IPS 3? Dia.. dia katanya suka sama
saya, tapi saya ga suka sama dia, Pak.. Saya ingin menolak dia, tapi saya takut. Bapak.. Bapak pasti tau dia
orangnya seperti apa. Saya takut Pak, saya bingung harus gimana..” Airmataku pun menetes. Tak dapat ku tahan
lagi.
Pak Tomi
memperbaiki letak kacamatanya, kemudian duduk agak merapat.
“Oooh..
Ternyata kamu sedang murung mikirin itu.. Misalnya kamu ngerasa sulit untuk
mengatakannya langsung ke dia.. Bagaimana kalau saya yang menyampaikannya?”
ujar Pak Tomi sambil membawakan secangkir teh hangat untukku, yang
diambilnya dari ruang dewan guru.
Ku teguk
tiap tetesnya sembari mendengar perkataan Pak Tomi.
“Itu bukan
suatu masalah yang perlu kamu khawatirkan sampai begitu. Dia juga tahun ini
harus mengikuti seleksi rekomendasi ke universitas. Jadi, dia ga akan melakukan
hal yang tidak-tidak lagi.”
Ucapan Pak
Tomi ini cukup membuatku lega. Aku menyingsingkan rok sekolahku yang hampir
tersingkap. Sepertinya, Pak Tomi terlalu dekat duduknya denganku. Ah, dia tak
bermaksud buruk,dia hanya berniat memberiku solusi.
“Tapi kalau
dia masih juga mengatakan sesuatu ke kamu dan berbuat yang tidak-tidak.., saya
akan menegurnya.”
“Gapapa kok,
Pak… Terimakasih”
Pak Tomi
memang dewasa. Aku benar-benar bisa mempercayainya. Untung aja aku
berkonsultasi padanya.
Eh, apa
nih?? Tangan Pak Tomi… merangkulku.
Menyingkap rambutku hingga leherku terlihat. Membelai pipi.. Ah apa
ini??!!
“ Artinya
boleh kan?”
“Eh, ap-apa Pak??”
Dingin dan
kaku.. Pak Tomi benar-benar menjepitku dengan gerakannya. Benar-benar.. ini ga
wajar dilakukan antara anak murid dan guru!
“Selama ini
kamu dingin… Jadi saya kesepian..”
“Pak.. Pak Tomi? Maksudmu datang
padaku..? Jang-jangan Pak..”
“Tapi ujian minggu kemarin dapat
nilai bagus kan?”
“Mmmn jangan Pak..”
“Ayolah..”
TIDAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!
Buuukkk!!!!
Pak Tomi terbaring lemah di
sampingku. Darah berceceran di sekujur lantai. Aku menoleh ke kiri kanan. Siapa
yang telah memukulnya tadi??
“Kamu.. ! Saya tau, kamu selama ini
memandangnya dengan pikiran yang bukan-bukan! Saya tau! Tanganmu yang kotor,
menyentuh Dita.. Dita milikku..”
Disini, di depanku, telah ada sosok
Kak Fahreza yang tengah mengacungkan tangannya, hendak memukul Pak Tomi lagi.
Aku tak bisa berdiri.. Hanya terpaku di tempat. Mundur beberapa langkah dengan
cara merangkak adalah satu-satunya cara yang bisa ku lakukan.
“Akan ku buat kau tak bisa berbuat
apa-apa lagi dengan tanganmu itu!!!”
Croooottt!!! Bruukk!!!
Darah merah segar muncrat keluar dari
mulut Pak Tomi, bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh ke lantai.
“Dita… Begini, begini baiknya kan??
Begini kan Dita??”
Kak Fahreza maju beberapa langkah.
Aku terus mundur dan mundur lagi hingga badanku menabrak dinding. Tak ada jalan
untuk menghindar. Di samping kanan kiri ada meja kursi kelas yang menghambat.
Apa yang harus ku perbuat? Dia sangat menyeramkan sekarang!!
Tidaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!!!!!
Sontak ku dorong tubuh kekar Kak
Fahreza. Kudobrak pintu kelas, lantas lari sekencang-kencangnya. Aku tak mau
menoleh ke belakang, aku sangat takut. Langkahku semakin terpacu, dan tak
terasa aku sudah tiba di jalan raya.
Hosh-hosh...Nafasku tak teratur. Aku
duduk di tepi jalan, setelah ku pastikan bayangan Kak Fahreza tak terlihat lagi.
Mungkin.. dia berlari ke arah sana.
Mungkin dia mengira aku tadi berlari pulang ke rumah. Atau dia
diculik UFO. Aaah entah, semoga dia ga
tau kalau aku ada disini.
Tapi…
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!
“Dita..??”
Itu… suara
Erick!! Dengan takut aku menoleh, dan terlihat Erick tengah berdiri dengan wajah cemas. Mencemaskanku??
“Kamu gapapa? Aku.. aku kepikiran
terus.. trus aku mencarimu..”
Erick.. Erick datang disaat aku butuh
pertolongan. Disini aku sendirian, dan dia datang..
“Erick.. Aku, aku takut. Aku takut..
takut….”
Lalu aku tenggelam di pelukannya.
Airmataku tak berhenti menetes. Aku sangat takut, aku ga mau sendirian lagi.
Kepala Erick tergerak mendekati
kepalaku. Aku tergugu, masih menangis. Dekapannya semakin erat. Dan bibir
kami.. saling mengecup!
Jangan..!!!! Kumohon jangan!!
Tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkk!!!!
Lagi-lagi aku harus berlari dan
berteriak. Aku semakin mempercepat laju lariku, berharap aku cepat sampai
rumah. Tak kupedulikan Erick yang kesakitan ketika aku mendorongnya, berusaha melepaskan
diri dari dekapan dan ciumannya yang salah alamat itu. Sudah cukup semua ini.
Erick gila! Berani-beraninya dia
menciumku!! Bagaimana kalau Niken sampai tau hal ini?
Berkali-kali kuseka air mataku, tapi
tetap aja ga berhenti mengalir. Aku capek, aku lelah, aku mau pulang…
Jalanan ini sepi sekali, sama seperti
kejadian tiga bulan lalu yang menimpaku dan Dita. Kejadian yang kupikir akan
membuatku bahagia.
Bukan.. bukan seperti ini kebahagiaan
yang aku harapkan.. Menakutkan, hidup ini sulit sekali. Kini aku mengerti maksud Dita.
Tap tap tap tap..
Ada langkah lain yang terdengar.
Siapa? Apa ada hantu di belakangku? Aku masih ga berani menghadap ke belakang,
tapi langkah itu makin mendekat. Lebih baik aku lari, ya aku lari!
Masa sih ada hantu? Ah, suara langkah
kaki itu menguntitku terus!
Buuuukkkkkk!!! Arrrgghhh!!!
Aku terpental jauh ke aspal, mulut
dan hidungku mengeluarkan darah, sama seperti Pak Tomi tadi. Dengan mata nanar,
kucari-cari siapa yang memukulku.
“Kamu.. kamu…”
Niken???!!
“Mentang-mentang tampangmu cantik…
tapi jangan rebut pacar orang dong!!!!”
Badanku makin terpental kesana
kemari. Niken terus menampariku, memukuliku. Kali ini aku ga melawan. Aku ga
mau melawan. Biarlah aku pasrah, aku berdarah. Niken sahabatku…
Mataku tertuju pada pecahan kaca di
sampingku. Dalam gelap, tangan kiriku berusaha untuk menggapainya, dan kulihat
Niken mundur beberapa langkah dengan wajah ketakutan.
Kini pecahan kaca yang cukup panjang
ini ada di genggamanku. Kuacungkan ke udara dan darah segar mengalir membasahi
tiap sela jari-jari ini.
Aku… terdorong untuk melakukannya
sekarang!!!
“Kamu…kamu.. kamu rusak wajahmu
sendiri!! Kamu gila!! Aaarrrghhh!!!”
Jeritan Niken tak membuatku gentar.
Tetap harus ku rusak wajah menyedihkan ini!
Lalu nanar. Pandanganku gelap.
Ku pejamkan mata, dan berharap tak
akan pernah terbuka lagi selamanya
--TAMAT--
Huuffffhh itulah
cerpen yang aku tulis, waktu itu kalau gak salah aku nulisnya tiga hari. Haha rada aneh sih, trusa dialog-sialognya itu kabanyakan ngambil di komiknya huhu. Ditunggu
komennya ya tentang cerpen-cerpennnya., kalau ada yang bilang bagus aku bakal sujud syukur selamatan
potong tumpeng trus terbang ke Jakarta buat ketemu Dewi Lestari demi
memperdalam dunia percerpenan hoho.
Tapi walaupun
ada yang komen cerpen yang ku adaptasi dari komik itu jelek, atau gak ada yang
komen, aku tetap puas sih. Karena aku udah ngelakuin hal yang awalnya aku pikir
udah gak bisa kulakukan lagi. Karena aku udah ngelakuin hobi lamaku lagi.
Karena aku udah mulai punya hasrat lagi buat ngirim-ngirim cerpen ke majalah
lagi, dan siap ditolak lagi huhu. Karena aku ngerasa jadi penulis itu harus
serba bisa, bukan cuma bisanya nulis aib doang.
Kayaknya
postingan berikutnya aku mau nulis cerpen aja deh. Kayaknya, masih belum tau
juga sih.
1 komentar
Thank you for giving us the knowledge of what you have described. do not forget to visit our website :
BalasHapusDaftar Agen Poker
Nonton Bioskop Online
Bioskop Online
Domino Online
Togel Singapura
Bandarkiu
Poker99
Domino QQ Online
Afapoker99 Official