Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Mama nyodorin
sebaskom bawang merah beserta pisau dapur di dalamnya begitu aku keluar kamar.
“Kupasin
ya, Mama mau bikin bumbu. Mama mau ke pasar. Eh kamu sarapan apa? Mie kah?
Yaudah kupasin dulu ya baru sarapan.”
Lantas Mama melenggang pergi ninggalin aku yang masih
berusaha mencerna kata-kata beliau barusan.
Jadilah aku ngebabu pagi dengan bawang merah binal yang
siap dikupas, bukan dengan tumpukan piring yang harus dicuci, kayak biasanya. Ngupas
bawang itu susah-susah gampang, bagi aku yang gak pernah terjun ke dapur
kecuali masak mie sama nyeplok telor. Sebagian bawang terlihat bukan kayak
habis dikupas kulitnya tapi kayak dicabik-cabik, persis kayak korban
pemerkosaan yang bajunya terlucuti huhuhu. Gak rapi, bawangnya ikut terkupas.
Pengaruh karena aku belum mandi kali ya, eeh ngaruh gak sih, emangnya bawangnya
punya hidung trus nyium aroma liur basi sama bau masam dari aku gitu, aaaa.
Mana mata berair lagi padahal make kacamata sama mutar lagu-lagu upbeat tetap
aja gak bisa ngalahin sensasi pedas di mata pas ngupas bawang merah.
Berair gara-gara ngupas bawang merah tadi pagi gak ada
apa-apanya dibanding berair gara-gara ngeliat sms Dea tadi pagi juga. Tapi
sebelum aku cerita isi smsnya apa, aku mau cerita soal ak dan anak-anak kelas
tiga baru lulus ke sekolah kemaren dalam rangka ngambil SKHU. Yaaaa sebenarnya
gak ada istimewanya sih. Disuruh datang jam sebelas ehhh molor jam satu baru
dibagikan. Gak bosan juga sih nunggunya soalnya sambil kumpul kebo sama
bubuhannya ngelepas kangen. Kelar berdesak-desakkan di TU demi dapetin SKHU
yang ternyata belum dilegalisir trus juga tadi siang aku dapat sms kalau nilai
rata-rata rapor di SKHU itu ada yang salah jadi besok kami harus ke sekolah
minta print ulang, kami yang dipimpin Ikhsan berbondong-bondong ke kelas huhu
mantan kelas kaliya lebih tepatnya. Kami corat coret baju bepilox-an
betandatanganan foto-foto nggg telat sih buat kayak gitu tapi gapapa yang
penting happy!!!!
Habis itu kami gak langsung pulang. Kami yang terdiri
dari aku, Dina, Dea, Owi, Denada, Chintya, Kartini, Jannah, Ikhsan, Eri dan
Wahyu ngaso ke KFC sampe jam tiga.
Aku yang baru bangun tidur waktu dapat sms itu pun cuma
bisa diem. Antara trenyuh mellow sama ngumpulin nyawa. Karena gak mau lebih
mellow lagi, aku mutusin buat gak usah mandi aja takutnya kalau ketemu air aku
jadi tambah mau nangis. (halah bilang aja kalau malas mandi Cha! -_-)
Pas baca sms Dea itu, aku jadi te-flashback sama apa yang
udah terjadi kemaren siang. Pas Reny meluk aku trus aku meluk dia sambil
ngomong, “Reny guru Matematika terhebat!”
dan dia bales, “Icha guru Bahasa Inggris
yang membingungkan!”. Lalu kami ketawa bareng-bareng seolah sama-sama nahan
tangis. Teingat ketika air mata tumpah deras dari seorang Dea yang jarang
banget nangis. Teingat Ani yang bilut waktu pelukan sama Reny. Teingat senyum
getir Denada yang gak bisa ikut ngumpul lagi karena udah mau ke Surabaya.
Teingat Owi yang ngomong sedihnya heh berulang kali. Teingat ketawa renyah Dina
waktu ngerekam bubuhannya becoret-coretan. Teingat muka polos Chintya yang
kadang juga bikin kesal itu. Teingat------ terlalu banyak yang harus diingat.
Kadang tanpa sadar kalau aku lagi ingat itu semua, ingat waktu lagi
sibuk-sibuknya bimbel US UN dan tetek bengek lain yang udah kami lewatin, aku
suka ngegumam, “Aku kangen kalian. Aku
kangen kita.”
Kita itu dulu. Kata ‘kita’ itu ada ketika aku dan
temanku-temanku itu masih dalam satu kelas, satu kenangan, satu tujuan. Dulu
setiap hari kami ketemu, belajar bareng, ketawa bareng, ngerjakan tugas bareng,
tidur di jam istirahat bimbel bareng, makan bareng, cemas nungguin hasil
ulangan bareng, ngolokkin Bu Mur bareng, malingin jemuran orang bareng, eeeh
itu gak masuk hitungan.
Selalu ada kata ‘kita’ di setiap kejadian. Walaupun
sempat ada ‘kita’ tanpa Dea karena waktu itu pernah musuhin Dea. Walaupun
sempat ada ‘kita’ tanpa Reny dan Ani karena sempat nganggap mereka rada
ngejauh. Walaupun sempat ada ‘kita’ tanpa Owi sebelum akrab sama kami. Walaupun
sempat ada ‘kita’ tanpa aku atau Dina karena kami berdua marahan terus cuma
gara-gara aku ngambek.
Dulu kata ‘kita’ menghiasi satu tujuan. Bergantung pada
satu harapan. Waktu ulangan Bahasa Inggris, kita sama-sama berharap bisa lolos
dari remedi Bu Dina yang menyiksa batin itu. Sama-sama bertujuan untuk dapat
nilai bagus. Di Ujian Kompetensi, kita ngerasain ketakutan yang sama,
deg-deg-an yang sama walaupun tiap orang kadarnya berbeda-beda, dan lagi-lagi
harapan serta tujuan yang sama: LULUS UJI KOMPETENSI. Memasuki Ujian Sekolah
dan Ujian Nasional, kita memanjatkan doa bersama, dan isinya pun sama, mohon
bisa LULUS.
Sekarang kata ‘kita’ terpisah menjadi ‘aku’ dan ‘kalian’
karena kata ‘lulus’ itu. Tujuan kita sekarang berbeda-beda. Seperti isi sms
Dea, “semoga apa yang qta msing2 cita2kan dapat terwujud.”. aku jadi sadar
kalau hidup kita sekarang masing-masing, tujuan kita masing-masing, bukan
bersama lagi. Kalaupun kuliah itupun ada yang beda universitas, beda fakultas.
Kerja pun juga, ada yang sini, ada yang situ, disana. Nikah pun pasti beda
pasangannya, eee gak ada yang mau nikah habis lulusan ini kok. Pokoknya kita sekarang beda. Sedih sih, tapi
memang harus kayak gini kan?
Mungkin yang satu-satunya sama setelah lulusan ini adalah
nilai UN Matematikaku sama nilai UN Matematika-nya Dina. Sama-sama 5,00. Kami
sama-sama menertawakan nilai yang sama-sama jongkok itu. Sama-sama ngingat
pelajaran dan guru Matematika kayak apa. Sama-sama nyadar kalau kami memang gak
bisa bersahabat sama Matematika. Sama-sama sedih hal itu bakal kami kangenin.
Eh mau mandi dulu ni, udahan ya. Dadaahhhhhh pembaca,
dadahhhh kita. Eeehh engga engga, karena kita itu tetap kita. Walaupun udah gak
sekelas satu sekolah satu tujuan trus jarang ketemu, kita ya tetap kita.