Sebagai remaja umur 17 tahun, seharusnya aku sudah bisa naik motor sendiri, ga mengandalkan kakak atau teman sebagai ojek dadakan. Tau sendiri kan kalau sudah banyak upaya aku lakukan supaya bisa naik motor. Sampe-sampe pernah nyungsep di TPA alias bak sampah besar depan gang 5 Cendana, jatoh konyol habis turun dari gunung gara-gara menggugam roti isi keju,dan…entah udah berapa banyak peristiwa dipermalukan sama motor. Sekarang aku ga nafsu lagi buat menggeber motor nganggur di rumah. Mencoba tetap setia pada sopir angkot yang saban hari gak pernah alpa lewat
Mungkin karena itu aku gatau apa definisi rute. RUTE. Rute identik dengan kendaraan, perjalanan. Aku ga tau apa itu rute karena aku gak bisa naik motor (nyambung gak sih?). Tapi terpaksa di postingan kali ini aku memakai kata rute sebagai ibaratnya yah kata kunci dengan hastag #galau lalu tweet sebanyak-banyaknya di @TheHitsTransTv (oke, ini bukan acara the hits Chaaaaa).
Dengan keterbatasan daya pikirku, izinkan aku untuk mendefinisikan rute dalam postingan ini. Yak, mungkin lebih tepatnya dalam masalah ini.
Tiga jam yang lalu aku resmi keluar dari teater. Akhirnya ya allah leganya.. Broootttt *keluar angin.
Tapi Ka Ian mengartikan keluarnya aku sebagai masa istirahat, masa vakum. Itu artinya, Ka Ian gak ngizinkan aku buat keluar. Aku keluar dengan alasan aku capek nanganin teater sendirian. Ada Oji sih, tapi….. Ah, memprihatinkan. Nina keluar dari teater hari Rabu kemarin. Alasannya kuat, karena orangtuanya udah terlanjur kontra sama teater, Gak.. gak, akiu gak ikut-ikutan Nina kok. Aku cuma ngerasa gak sanggup kalau cuma aku yang ngurusin adik-adik kelasnya, serta tetek-bengek keperluan teater. Aku harus merangkap jadi ketua, wakil ketua, sekretaris, bahkan bendahara. Waktu sama Nina aja masih kewalahan, apalagi aku sendirian gini. Capek di kaki, capek di hati. Aku mikir juga sih aku egois, alasanku gak sekuat Nina. Tapi kalau lama kelamaan kayak gini terus, lama lama aku bisa jadi gila. Baby aku inginkan putus.
Prosesi keluarnya aku dari teater ini bersangkut pautkan dengan kata rute. Aku ngartikan rute disini sebagai urutan kejadian, perjalanan.
Rute pertama, aku menuju ke perut yang kejang pas dengar Nina bilang kalau dia mau keluar dari teater. Hari kamis kemarin kami nangis-nangisan. Kalut. Dalam hati udah bertekad aku bisa tanpa Nina. Aku harus bisa demi adek-adek kelasku yang sekarang mulai ku sayang.
Rute kedua, menuju ke mimpi aneh jam dua shubuh. Di mimpi itu ada bubuhan Victor, ada kehidupan teater melati yang adem ayem, ada Kak Anita, Kak Sumi, ada pementasan kami, ada popularitas. Tiba-tiba aku ditinggal sendirian, ditarik oleh adek-adek kelas yang lucu-lucu lugu-lugu lutung-lutung itu, habis itu gatau lagi apa. Mimpinya abstrak.
Rute ketiga, aku menuju ke pemikiran galau maksimal. Mikirkan gimana nasibku kalau tanpa Nina. Aku sama sekali gak punya jiwa kepemimpinan yang mumpuni. Malah aku yang harusnya dipimpinin. Gimana jadinya aku ngebimbing adek-adeknya sendirian. Terbesit keinginan untuk keluar aja kayak Nina. Gak copast kok gak copast… beneran, gak bermaksud meng-copast tindakan Nina. Tapi kesannya aku jadi kayak kompakan. Berhari hari Reni dibanjiri sama curhatanku yang ayatnya itu-itu aja. Mbak Vita itu kalau buang air besar kada pernah lepas dari buku. Mbak Vita itu ini anu itu ini. Aduh nyeplos ke ayatnya Bu Martini deh.
Rute keempat, belok ke rumah Tasya. Ku putuskan untuk minta bantuan Mama Tasya sekarang juga. Pas nyampe rumahnya, aku langsung baring, lalu nyium Tasya dengan membabi buta. Rencananya sih aku mau minta tolong ngomong sama Kak Ian, Mama Tasya bilang ke Kak Ian bahwa aku pengen berhenti. Lewat telfon. Meski jarak dari rumah Tasya ke rumah Kak Ian lumayan dekat, bukan berarti aku mau untuk ketemu langsung sama dia. Nyaliku masih seumur jagung. Mama Tasya nolak mentah-mentah rencanaku. Dia gak mau, bingung mau ngomong apa sama Kak Ian. Aku pun nelfon Kak Ian. Awalnya aku takut, gugup, Nangis-nangis sambil menggenggam hape butut. Dengan dukungan (baca: paksaan) dari Mama Tasya, akhirnya aku nelfon Kak Ian. Nomornya gak aktif, aku langsung sms. Pas mau sms panjang lebar tentang alasanku mau keluar dari teater, satu sms masuk ke hapeku. Ternyata nomor Kak Ian aktif. Aku telfon, bilang sejujur-jujurnya, tapi Kak Ian maunya ketemu langsung. Aduh, aku tuh gamau ketemu lagi, aku maunya ini semua cepat selesai. Hari ini! Supaya besok aku gak ikut latihan lagi. Aku ga mau nunda lagi. Kak Ian keukeh mau ketemu langsung. Trus ga lama habis aku nelfon Kak Ian, Kak Sidiq sama Kak Fitri sms aku. Yang ku balas smsnya Kak Sidiq aja. Kak Sidiq nanya kenapa aku keluar dari teater. Yaudah aku bilang aku capek, aku sendirian sekarang. Kak Sidiq nasihatin aku, kamu gak sendirian, masih ada adek-adek kelasmu, masih ada Oji (what??). Kamu jangan ngerasa semuanya dilimpahkan ke kamu gitu dong. Kamu jangan lemah mental gitu dong, nanti gak bisa jadi orang sukses. Aku masih nyimpan smsnya Kak Sidiq :
“Kenapa sih itu lagi dipermasalahkan, kamu aja yg anggap smua kamu yg jalanin sndiri padahal apa gunanya Ozi dan adek2mu walaupun mreka msh baru mrka bsa diajak krjasama.. kmu jgn kalah mental gtu? Apa ini krna pelatih baru kyk ka ian?Ato kamu dah terpengaruh dgn bubuhan viktor, klo ia biar kaka yg ngmg ma mereka..klo kmu jd ngerasa lemah ingt de, kdpannya nti kmu ga bs jd org sukses..tahan dan pikirkan itu?”
Ku balas sms Ka Sidiq gak kalah panjang lebar dari smsnya itu.
Trus ada sms lagi…
“Biar nanti gmana2nya sya akan rombak lagi kepengurusan di melati, kmu ttap bertahan aja tgasmu nti akan disrahkan yg penting kmu jgn kluar”
Sunyi senyap. Ga ada suara keypad hape dipencet buru-buru. Ga ada sms Kak Sidiq lainnya.
Rute ke.. sampai rute keberapa tadi ya? Oh iya, rute menuju air asin dari kedua mata. Rute kelima tepatnya. Aku jumplaitan nangis kebingungan, aku gamau pulang sampai aku dapat kepastian, apa aku bisa keluar teater atau nggak. Aku kok kayak ditahan tahan gitu, gak dibolehin keluar. Itu kan hakku!! Minta jemput Kak Kris, terus minta temenin ke rumah Kak Ian, sepertinya ide yang bagus. Jam dinding menunjukkan pukul 17.32, dan itu artinya aku gak bisa melancarkan aksiku. Kak Kris melanji, eeh melembur di kantor. Aku bisa diomelin Kak Dayah nanti kalau sampe mengorbankan waktu shalat maghrib dan waktu istirahat Kak Kris dengan memintanya menemaniku ke rumah Kak Ian. Aku telfon Kak Kris bilang kalau nanti malam aja jemputnya. Kelar cuap-cuap di telfon, aku putuskan untuk mandi. Tujuan utama bukan mau mandi sih, tapi….
Menangis di bawah guyuran air dingin dan baluran sabun cair sepertinya lebih asik ketimbang gulang guling kayak tadi. Bershowerlah, Cha.
Rute keenam, selesai mandi. Mama Tasya dengan senang hati mau nemenin aku ke rumah Kak Ian. Mama Tasya gak ngebolehin aku kesana seandirian.
Jalan kaki. Tentu aja, anak itu (baca: tasya) diikutsertakan. Malam-malam menyusuri jalanan sambil gendong Tasya, gak lucu banget. Daripada besok aku harus menghadap Kak Ian, mending sekarang aja. Walhasil, kami bertiga jalan kaki ke rumah Kak Ian. Pas nyampe disana, aku aja yang masuk rumahnya. Tasya mainan sama Mamanya bolak balik mendaki polisi tidur. Aku berhadapan sama Kak Ian, ngomong segala macam keluhanku. Kurang lebih setengah jam kami ngobrol. Kak Ian sih katanya boleh-boleh aja, asal pake kata ‘istirahat’. Kata ‘berhenti’ kedengaran kejam. Jadi kalau aku istirahat kan, bisa kembali ke teater. Nina juga disuruh istirahat, tapi dia keukeh berhenti, gak plinplan kayak aku yang masih bingung mau berhenti apa istirahat. Aku mau aja kembali ke teater, asalkan bubuhan Victor juga ikut kembali. Aku ngomongnya dalam hati aja sih.
Rute ketujuh, menuju ke persimpangan kelegaan hati. Aku nyampe dengan selamat dari perjalanan melelahkan tadi. Pulang ke rumah dijemput Kak Kris. Aku ngucap makasih sebanyak-banyaknya buat Mama Tasya udah mau bantuin aku menjalani rute keluarnya aku dari teater. Kalau nggak dibantuin, mungkin aku udah kesesat kali ya. Mungkin aku nunda-nunda terus, karena aku takut segala resikonya. Nyampe rumah, aku baring, ngadap ke atas, nyalain lagu Talking To Moon-nya Bruno Mars, lalu mencoba tutup mata tutup telinga apa kata orang tentang keputusanku ini.
Oh iya, aku masih sayang kok sama teater melati. Terutama Chris dan kawan-kawan, adik-adikku tecintrong.
0 komentar