Disini, aku sendirian. Eh gak deh, ada puluhan buku mengitari tempat dudukku. Tertata apik dalam kandangnya yang berbentuk rak. Ada belasan orang duduk disana sini bergerombol. Ada.... banyak.
Tapi, aku tetaplah merasa sendiri. Asing.
Sebelumnya, ada Reni, Ariesta, Wahyu, dan Ikhsan disini. Kami ngerjain tugas kearsipan sekaligus riset tentang kunjungan ke perpustakaan. Dalam pengertian kami-ngerjain-tugas-kearsipan-sekaligus-riset-tentang kunjungan-ke-perpustakaan ini, tidak termasuk Ikhsan dan Wahyu loh. Mereka malah bergosip ria layaknya jeng-jeng arisan.
Mereka sudah pulang. Otomatis tinggal aku sendiri. Terduduk di depan meja bundar, tepatnya di sebuah tempat yang mereka sebut Perpustakaan Daerah.
Aku sedih? Ah, nggak. Aku kok yang nyuruh mereka buat pulang duluan kalau memang mereka mau pulang cepat dan terdesak sekarang. Mereka juga minta maaf sebelum pulang tadi. Aku cuma ketawa-ketawa aja.
Mendadak aku jadi ngerasa nyaman disini, malas pulang. Aku bisa baca buku apa aja yang aku mau dengan konsentrasi tinggi. Sekarang buku yang ada di genggamanku yaitu buku karangan David Sedaris, judulnya Me Talk Pretty One Day. David Sedaris itu penulis sekaligus stand-up komedian. Selain mencintai Raditya Dika, aku juga pengen mencintai David Sedaris dengan membaca karangannya. Akupengen satu selera sama bang Dika, jadi aku baca deh bukunya Pak Sedaris. Tapi sumpah, meskipun banyak komentar wah novel yang menggugah tawa wah novel yang lucu wah novel yang menggelitik berhamburan di depan belakang novelnya, tetap aja aku ga bisa nangkap lucunya itu darimana. Apa karena ini novel terjemahan, atau karena selera membaca bang Dika yang ketinggian buatku. Jelas,aku ga bisa memaksakan selera bang Dika untuk nyerap ke seleraku.
Apa itu tujuanku untuk sendirian??
Sebenarnya, aku pengen mengenang hal-hal yang pernah terjadi di sini. Dimana aku baca buku bareng Usuf dan... Nur
Tempat dimana dulu kami pernah duduk bersama cukup jauh dari tempat dudukku sekarang. Aku sengaja duduk disini buat ngeliat tempat duduk itu. Membayangkan aku, Reni, Eka, Dina, Dea, Usuf dan Nur duduk membaca buku. Dari sini aku bisa ngeliat jelas bayangan-bayangan itu. seolah kayak kenyataan. Mendadak air asin jatuh pelan-pelan, basah mengenai buku tulisku. Untung aja Reni dkk udah pulang. Aku gamau adegan nostalgia konyol ini dilihat mereka.
Aduh, jadi ngelantur gini sih.
Baik, kembali ke topik 'sendirian'.
Jadi, aku ya gitu, ngerasa nyaman (sudah tiga kali aku ngomong gini,gubrak).Serasa di rumah sendiri. Di rumah, aku ngelakuin aktivitas apapun dgn kesendirian. Sendiri itu enak, lebih leluasa. Kalau malu, malu sendirian. Gak ada yang berani ngeracau. Aku suka kagum sama cewek yang jalan sendirian menenteng satu tas belanjaan, atau meneguk cup of coffee sendirian. Hebat ya dai, mandiri. Melakukan apapun sesuai kemauannya sendiri, tanpa harus menunggu persetujuan orang lain. Kalau kita jalan berdua atau rame-rame ke mall atau suatu tempat gitu kek, cukup repot. Harus nungguin si A, si B. Nentuin mau kemana sesuai dengan kesepakatan bersama. Ribet kan??
Sana sini pengunjung perpustakaan berdiskusi dengan teman-teman mereka. Aku disini, berdiskusi dengan kata hatiku, dengan buku-buku di depanku, dengan tatapanku ke tempat duduk bersejarah itu.
Gak peduli apa kata orang, aku gak punya teman di perpus kah, atau apa kah, aku bloon kah, aku bebungulan kah, aku kebingungan kah. Yang penting aku nyaman sendirian. Nyaman jadi gadis perpus.
Sendiri, aku sudah benar-benar sudah terbiasa. Empat bulan ini setelah Cahaya membiarkanku tersungkur di kegelapannya, aku sudah cukup bisa menguasai ilmu kesendirian.
Jadi.untuk hal yang satu ini, yaitu sendirian di perpustakaan dengan tampang aku-anak-polos-tak-tau-apa-apa ini, adalah hal yang tak seberapa dibandingkan kesendirianku tanpa Cahaya.
0 komentar