Anak SMA/SMK dipikir-pikir rugi kalau sekolah tinggi-tinggi. Mainan aja kerjaan tiap hari. Si ilmu ga tau tuh nyangkutnya dimana. Berangkat sekolah pagi-pagi cuma buat nungguin bel istirahat sama bel pulangan aja. Eh, bukan bel sih, mungkin lebih tepatnya disebut sebagai ultimatum-dari-pasangan-cewe-cowo-bandara. Habisnya, bel nya di sekolahku tuh bunyinya gini :
" Teng-teng teng. Saatnya istirahat pertama dimulai."
Atau yang paling nge-hitsnya sih yang ini... :
"Saatnya jam kedua dimulai. I't's time to begin the second lesson".
Si cowo yang ngebacakan bahasa indonesia, si cewe yang baca bagian bahasa inggrisnya. Suara mereka mirip sama suara-suara orang yang ngumumin jadwal keberangkatan di bandara. Itu kata Dea. Tapi menurutku sih, suara-suara itu lebih mirip pengumuman yang menggema di sekitaran mall, khususnya di lantai 2 lembuswana. Sering kan dengar "Kepada Mbak Wiji dari bagian Sorella, agar menemui manager kepegawaian di ruangannya sekarang juga. Terimakasih.".
Gak pernah dengar? Berarti kuping kalian perlu di-mall-in.
Ngomong-ngomong soal bel, hal pertama yang telintas di benakku di setiap bel istirahat berdentang adalah: CEPAT KE KANTIN, CHA!!! NANTI KALAU KEHABISAN MIE, NANGIS ILER LOE!!!
Aku, yang seolah-olah sedang kerasukan setan mie, langsung menarik Reni dan Kartini untuk ambil langkah seribu menuju kantin.
Sesampainya di kantin, suasana gegap gempita. Penuh. Pengap. Semua warga SMK Negeri 1 tampaknya tumpah ruah disini. Mau jalan aja jadi serba salah. Pada nabrak ini nabrak itu. Bau keringat bercampur bau parfum murahan. Dimana kami sekarang? Aku jadi gak bisa ngebedain antara kantin dengan pasar pagi.
Dari mie pangsit, bakso romo, roti isi, nasi campur, nasi pecel, dll yng dijajakan di kantin, mie instan adalah makanan yang jadi most wanted anak-anak SMK 1 yang dilanda kelaparan. Karena mie instan ibu kantin itu harganya murah, praktis, terkenal dengan sambelnya yang mampus banget di lidah. Jadi, gak heran kalau stand mie instan begitu sesak oleh pengunjung.
Aku sukses menerobos kerumunan orang-orang yang tengah mengantri. Di kiri kananku terdengar beberapa kicauan.
"Bu.. indomie satu, Bu.. gak pake lama.."
"Bu, saya mie sedap bu dua bungkus dijadiin satu."
"Telornya setengah matang ya, Bu. Yang cepet Bu"
"Saya dadar Bu."
"Bu cepetin Bu saya lapar...!"
"Aduh lamanya ai, sempat mati aku disini!!"
"Panasnya heh!! Ibunya ni lelet betul"
"Bu saya Bu, daritadi berdiri sendiri Bu. Bu saya nah Bu!!"
Bukannya merdu, kicauan-kicauan itu terdengar memekakkan telingaku. Mereka gak sabar menunggu giliran. Nyerobot gitu aja. Sudah nyerobot, ngeluh lagi. Tau ai panas, tau ai lama!!!! Tapi ya ga usah diungkapin langsung ke depan ibu mie nya dong. Ibu mie pasti sakit hati kan kalau dengarnya. Lagian, ibu mie nya itu kan cuma dua orang, melayani sekian banyaknya yang pesan mie. Tangan mereka masing-masing cuma dua. Gimana mau cepet? Coba belajar ngerti pang.
Lebih ngeselinnya lagi, mereka suka seenaknya kalau mau ngambil sambel. Sambel nya kan ditaroh di mangkok kecil. Siapa cepat, dia dapat. Nuangin ke mie nya sendiri itu gak nanggung-nanggung, semangkok itu bisa habis cuma dia sendirian aja. Padahal sambelnya itu pedes banget loh. Gak mikir kah bukan cuma dia aja yang butuh sambel? Enak banget ya, dihabisin sendirian, trus pasang muka-muka ga tau-tau lagi. Apalagi kalau mereka itu kakak kelas, waaahhh makin semena-mena mereka. Kami, yang gak kebagian sambel, cuma bisa merengut. Meratapi mie kami yang polos tanpa sensasi 'haaaaaaaahh'
Di SMK Negeri 1 ada peraturan "Kantin tertutup bagi anak-anak SMK 1 pada jam pelajaran atau sebelum jam istirahat, apapun alasannya. Entah itu jam kosong, apalagi membolos. Terkecuali bagi anak-anak yang memakai baju olahraga"
Jadi, waktu itu kan lagi jam kosong di kelasku. Waktu itu pelajaran olahraga, tapi gurunya lagi ga ada. Kami pun menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke kantin. Sesampainya di kantin, kami malah diusir. Katanya gak boleh kalau selain yang pake baju olahraga. Trus aku bilang padahal ini lagi jam olahraga, tapi bapaknya ga ada, jadi kami pake baju batik deh. Ibu kantin tetap mengusir kami. Untungnya aku panjang akal, aku pun langsung ganti baju. Kebetulan hari itu aku bawa baju olahraga.Daripada belinya pas istirahat, pasti penuh. Reni, Kartini. dan Ariesta menertawakan kenekatanku. Setelah puas tertawa, mereka lantas nitip minta belikan mie ke aku. Dasar grrrrrrrrr
Melihat fenomena itu, jiwa kewartawananku bangkit. Di sebuah kesempatan, aku berhasil mewawancarai salah satu dari dua orang Ibu Mie. Entah siapa namanya. Yang jelas, ibunya berambut pendek, senyumnya manis, ramah lagi. Eksklusif langsung dari narasumbernya.
"Bu, kenapa sih kami tadi dilarang beli? Kan Pak Asma'u nya lagi ga ada, Bu. Makanya kami bebatikkan.."
Si Ibu, menjawab dengan bijak sambil menuang bumbu-bumbu mie ke mangkok
"Memang gak boleh.. Dimarahi ini semuanya kalau ketahuan ngejualin anak-anak. Belum jam nya. Banyak anak yang bolos ke kantin pas lagi belajaran. Makanya Ibu gak berani. Itu tuh diawasin kami semua. Oh iya, kamu tadi yang pake batik kan? Ganti baju sampe.."
Aku, yang cenderung pemalu, cuma bisa tersenyum. Lalu melanjutkan pertanyaan.
"Hihihi iya Bu, Oh iya Bu, Ibu sudah pernah kena marah kah Bu?"
"Gak dimarahin, cuma ditegur gitu aja. Diperingatkan dengan halus lah istilahnya. Tapi ya tetap aja kami semua ini takut. Bisa-bisa gak dibolehin jualan lagi disini.."
"Oh.. Iya iya, Bu.. Trus, apa suka-dukanya jualan di sini, Bu?"
"Suka nya ya banyak, dukanya banyak lagi. Ibu tu kadang suka kerepotan sendiri kalau sudah jam istirahat tuh. Penuh. Ibu ni bingung kadang, mana-mana yang pesan. Telor nya apa aja, dibungkus apa nggak.. Ibu nda tau lagi sudah siapa-siapa aja yang sudah bayar,siapa yang asal ambil. Uang yang Ibu terima kadang kurang, kadang kelebihan.. Ada yang maunya serba cepet, tapi ga mau buka bumbunya sendiri. Mau nya dibukakan... Apa nda ngerti ya kalau tangan ibu ini cuma dua.. sambel tuh kadang tumpah sana sini. Mubazir.., padahal masih banyak yg gak kebagian sambel."
Miris dengarnya.
"Maaf loh ya Bu, kadang saya suka kayak gitu Bu, hehe... Oh iya Bu, biasanya dalam sehari habis berapa bungkus mie?"
"Ya kira-kira dua dus itu. Tapi gak sebanding dengan bumbu-bumbunya. Bumbu-bumbunya suka nyisa banyak. Apalagi mie sedaap."
Satu pertanyaan lagi, namun sayangnya mie ku sudah selesai dibuat. Reni, Ariesta dan Kartini sudah merengek-rengek dari tadi. Atas dasar kasihan (dan karena kehabisan stok pertanyaan lagi), ku sudahi wawancaraku dengan Ibu Mie.
Dari sini aku mengambil kesimpulan, Ibu Mie perlu dihargai, perlu dimengerti. Mentang-mentang ada istilah 'pembeli adalah raja', kita jadi semena-mena sama si penjual. Tanpa si penjual, ga akan ada pembeli. Ga akan ada kita. Gak akan ada mie instan sederhana yang enak itu. Mau bikin sendiri sebenarnya bisa, tapi ga bisa ngalahin cita rasa yang dihasilkan Ibu Mie.
Satu hal yang perlu diingat, Ibu Mie juga manusia.
Sekian.
2 komentar
Jd merasa bersalah pernah kayak gtu kak T_T
BalasHapushaha iya de aku juga pernah kayak gitu, sering malah
BalasHapuseh maaf ya baru dibalas koment nya, baru lihat :D