Lewat Hape Jatoh, Rinduku Tertuntaskan
- 23.12
- By Icha Hairunnisa
- 0 Comments
Ceroboh. Mungkin kata itu yang tepat menggambarkan Dina. Syaiba Meidina, gadis berjilbab yang fanatik akan Bruno Mars itu adalah teman sebangkuku waktu kelas X. Yang kini telah fix menjadi belahan jiwaku #tsaaahh. Berkulit kuning langsat, pendiam, misterius, cenderung tomboy, slengean, rada cuek, kalau sekali bercanda langsung bikin ngakak tendeng aling-aling, pelupa, dan.. ceroboh. Sifatnya rada-rada mirip sama kamu. Mungkin karena itu kali ya makanya waktu setahun duduk sama dia rasanya sebentar banget .
Kalau aku ga ngerjakan PR, dia ikut gak ngerjakan PR. Kalau aku lupa bawa LKS, dia juga lupa. Padahal sebelumnya dengan sombongnya dia pamer ke aku kalau dia bawa , eh sekalinya dia ga bawa juga. Kami sama-sama suka Bahasa Inggris, suka lagu Barat. Dia mengenalkan pesona-pesona yang ada pada Bruno Mars, hingga aku jadi ikutan nge-fans. Kami sama-sama alergi sama pelajaran matematika. Maka gak heran saat Bu Yayuk menjelaskan rumus-rumus matematika di depan kelas, aku dan Dina malah asyik ngobrol. Bertopang dagu. Menggeliat di meja dengan posisi membaringkan kepala. Membahas lagu-lagu mancanegara ter-update, soal-soal bahasa inggris yang belum terpecahkan, menceritakan kecerobohan masing-masing. Lihat kiri kanan depan belakang, pada duduk tegak mata fokus menghadap ke papan tulis. Berebutan menjawab pertanyaan Bu Yayuk dengan sigap. Kontras sekali dengan kami.
Kini, aku gak sekelas lagi sama Dina. Aku jadi kangen dengan sifat-sifat menyimpangnya itu. Apalagi dengan kecerobohannya, yang bikin aku geleng-geleng kepala, lalu tertawa karena menyadari bahwa aku juga melakukan kecerobohan itu. Aku pengen melewatkan waktu sama dia lagi. Curhatan lagi. Ngakak lagi. Ceroboh bareng lagi.
Hari Senin kemarin, aku dan bubuhan Ass. belajar kelompok. Bertempat di rumah Dea. Kami mengerjakan tugas MPA (Melakukan Prosedur Administrasi) sampai jam 5. Reni, Chintya, dan Eka pulang. Tinggal aku, Dina, dan Dea si tuan rumah.
Jemputan Dina sudah menunggu di depan gang. Dia pamit, habis itu langsung kabur. Aku dan Dea lari mengejarnya. Kami pun berhasil mendahuluinya. Lalu Dina naik ke motor kakaknya, yang ngejemput dia. Lambaian tangan kami mengantarkan kepulangan Dina menuju rumah. Lucu banget, ada emang orang ga mau diantar sampai depan, langsung kabur gitu aja? Ya Dina itu~~
Dari sinilah, kecerobohan Dina yang kurindukan bermula.
Selang sepuluh menit kemudian...
"Itu Dina temanmu balik lagi tuh, Ya!" pekik Mamanya Dea
"Ah, Mama ni mabuk. Udah pulang dia tuh... Eh Cha, iya itu Dina nah!!"
Dina datang dengan nafas terengah-engah.
"Loh? Kenapa, Din?"
"Anu, ada kah barangku yang ketinggalan disini?"
Aku mengernyitkan dahi. Sementara Dea langsung menelusuri tiap sudut rumahnya, mencari apa ada barang yang dimaksud Dina, meski kami belum tau persis barang apa yang ketinggalan.
"Barang apa, Din?"
"Hapeku Cha, aku lupa taroh dimana.."
"Bukannya tadi sama Chintya ya?"
"Kalau sama Chintya, trus tadi dia nelfon minta jemput pake hape apa, Chaaa??" Dea mendelik.
Tuuutt. Tuutttt. Dea mencoba menelfon ke nomor Dina. Tersambung, tapi gak diangkat.
Kami kebingungan. Jatuh waktu Dina lari-lari tadi, gak mungkin. Kami yang waktu yang ada di belakangnya pasti akan mendengar bunyi brakkk kalau seandainya hape Dina beneran jatuh waktu itu.
Eh, nomor Dina memanggil ke nomor Dea. Dea mengangkat telfon itu. Suara... cowo.
Ternyata, hape Dina jatuh di jalan. Mungkin waktu di motor, mengingat posisi duduk Dina tadi rada-rada miring, semiring pemikirannya #uupppss. Cowo yang menelfon pake hape Dina itu adalah orang yang menemukan hape Dina. Dea speechless, kagum lebih tepatnya. Cowo itu jujur. Padahal orang jujur itu langka. Waw.
Aku menelfon ke nomor Dina. Akhirnya sepakat, aku akan mengambilkan hape Dina dari cowo itu. Awalnya Dea nyuruh cowo itu ngantarkan hapenya ke rumahnya, tapi cowo itu ga mau. Ya jadinya harus kesana, ke Gang 16. Lagian, yang butuh kan kami juga, bukan dia. Aku meluncur bersama kakaknya Dina. Sementara Dina dan Dea tetap di tempat.
Sesampainya di depan Gang 16, aku kembali menelfon ke nomor Dina, memberitahu bahwa aku sudah di tempat yang dijanjikan.
Sesosok cowok jangkung ber-Ninja merah datang dari kejauhan. Lalu berhenti di depanku.
"Ini punya kamu kan?"
Tuturnya sambil menyerahkan hape Dina ke aku. Aku manggut-manggut. Kakaknya Dina mengucapkan terimakasih kepada cowo itu.
"Lain kali hati-hati ya,"
Kemudian pergi menggeber Ninja merahnya.
Begitu sampai di rumah Dea, kakaknya Dina langsung bilang ke Dea kalau cowo itu cakep. Haha, Dea langsung kelepak-kelepek. Dea kayaknya jatuh kagum banget sama cowok itu. Aku sih nganggap biasa aja. Karena yang bikin aku jauh lebih kelepak-kelepek lagi, aku bisa ngeliat kecerobohan Dina lagi setelah sekian lamanya. Eh aku gak bermaksud jahat kok, bukannya aku senang kalau Dina kesusahan gitu, bukaaannnn. Aku kangen ngeliat wajah Dina yang sok tenang itu, yang selalu bilang "gapapa icha.. gapapa aja tuh," tapi padahal dalam hatinya debar debur. Dea aja bilang kalau sebenarnya Dina tuh takut dimarahin kakaknya, tapi dia berusaha nyembunyiin. Jaim deh, Din. Aku ngangenin itu, ngangenin ketawa ngakaknya begitu menyadari kecerobohannya. Dengan dia ceroboh kaya gitu, aku ngerasa dekattttt banget sama dia. Saat-saat kebersamaan dulu yang kini telah direbut oleh waktu, seolah dikembalikan lagi ke pangkuanku. Aku senang aku bisa bantu dia, meski bantuanku sangat kecil sekali.
Dina pun pulang dengan menenteng hapenya.
Aku dan Dea mengucap syukur. Untung aja cowok itu jujur, baik. Mungkin cowok itu anak berada, makanya dia gak perlu ngambil hape orang, pikir Dea.
Untung aja ada cowok itu, perantara permintaanku untuk ketawa ngakak karena sebuah kecerobohan jadi dikabulkan. Aku gak bisa ngebayangin kalau Tuhan mengabulkan permintaanku dengan cara hape Dina gak kembali, pasti Dina bakalan sedih. Aku ga mau lihat Dina sedih, hiks *narikingus. Alhamdulillah yah sesuatu.
P.S : Ceroboh boleh Din, tapi harus masih di ambang batas yaa. Mari kita ceroboh bareng.
0 komentar