Begitu banyak ide cerita yang berkeliaran di kepalaku, meminta untuk ditumpahkan ke dalam postingan blog. Keseharianku, kesenanganku, kesedihanku, semua nyampur jadi satu. Setiap hendak menuliskannya, aku mencari apa kalimat yang menarik untuk membuka paragraph postingan blogku. Mencarinya bukan sekedar diam berpikir. Seringkali aku memutar lagu-lagu favoritku, melihat lihat ke luar ruangan, menonton TV. Bukannya mendapat inspirasi, malah kegiatan “pengundang inspirasi” itu malah dianggap lebih menarik daripada menulis blog. Jadinya malah asyik dengerin lagu atau jalan-jalan sore, hingga postingan blog jadi terbengkalai. Dan akhirnya batal nge-post Sering banget aku mengalaminya. Maka dari itu, aku jadi jarang nge-post blog. Entah apa yang menghambat jiwa menulisku untuk bekerja. Hiks.
Mumpung sekarang semangat menulisku lagi menggebu-menggebunya, maka disini aku akan blak-blakan menulis seperti biasa. Yeaah sebenarnya mengisi waktu luang, mencoba sejenak melupakan lapar dan haus yang menempel sedari tadi. Puasa, bo. Keren ya, ngabuburitnya sambil nge blog :D
Mumpung sekarang semangat menulisku lagi menggebu-menggebunya, maka disini aku akan blak-blakan menulis seperti biasa. Yeaah sebenarnya mengisi waktu luang, mencoba sejenak melupakan lapar dan haus yang menempel sedari tadi. Puasa, bo. Keren ya, ngabuburitnya sambil nge blog :D
Postingan blogku kali ini ga beda jauh dengan post-post sebelumnya, yakni tentang cinta. Lagi? Yap, meskipun sekarang aku lagi ga punya cinta (baca: pacar), tapi ga ada salahnya kan aku menuliskannya? Ehm oke, kulengkapi dengan tentang lupa dan benci, bagaimana?
Terdapat istilah dimana benci bisa jadi cinta, cinta jadi benci. Entah siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ini, oh mungkin lebih tepatnya disebut teori ini, yang jelas teori ini sering dipakai kawula muda yang sedang bercinta berpatah hati *tsssaaaaaahh. Bahkan dipakai sebagai judul sinetron be-rating tinggi. Benci-jadi-cinta sih bagus aja, asal awet. Lah kalau cinta-jadi-benci??
Aku adalah salah satu pemakainya, pecandunya. Ketemu dengan cowok yang sangat menyebalkan. Tak terbayangkan untuk bisa memiliki dan dimiliki cowo menyebalkan itu. Saking bencinya, eh malah jatuh cintrong. Jadian beberapa bulan, seiring dengan waktu yang berjalan, akhirnya putus. Menghasilkan rasa benci tiada tara. Kami saling membenci satu sama lain, padahal dulu saling mencinta. Ga hanya sekali, teori ini menjungkir balikkan aku berkali kali sesuka hatinya. Kalau sudah jadi mantan, pasti dibenci. Itu ga bisa dipungkiri. Walau ga sedikit di luar sana yang masih tetap bersahabat meski udah putus.
Ada kebencian yang sempat terpatri ketika aku putusan dengan Nur. Benci dengan semua. Aku menghakimi kekurangan diriku dan jalan takdirku ini. Melihat wajahnya yang berseri, mendengar kabarnya yang baik baik saja pasca kami putusan, aku jadi makin benci. Aku jadi benci hidup ini. Kenapa dia baik-baik saja? Kenapa dia bisa ga terpuruk seperti aku? Gila seperti aku ini?
Tapi ga sepenuhnya aku benci dia setengah mati. Jujur aku masih mengaguminya. Menurutku, dia orang yang baik, ga pantas untuk dibenci. Dia pergi karena aku ga pantas buat dia. Aku menerka-nerka diriku seperti apa, dan ku simpulkan aku masih jauh dari tipikal cewe idaman. Wajar aja dia pergi untuk mencari yang lebih baik. Bukankah ada ayat yang mengatakan orang baik akan dipasangkan dengan yang baik, dan orang jahat akan dipasangkan dengan orang jahat? Aku ga bermaksud merendah. Beneran.
Lantas kenapa aku benci? Aku benci agar rasa cinta itu bisa pudar. Agar aku ga termakan sakit hati yang ku buat sendiri. Toh sekarang dia sudah ga ganggu hidupku kok, untuk apa aku sakit hati? Aku ngaku kalau aku ga bisa benci dia. Benar benar ga bisa. Aku cuma ingin lupa kalau aku pernah jatuh cinta, bukan benci karena pernah jatuh cinta. Benci dan lupa dalam artian ini memang ga ada sekatnya. Ga bisa dipisahkan, padahal yang dibutuhkan hanya salah satunya.Kalau aku lupain dia, aku harus benci dia terlebih dahulu. Dengan membenci aku bisa lupain dia. Ribet yaa?
Aku punya cara sendiri supaya kedua rasa itu memisahkan dirinya masing masing.Kalau aku boleh ngasih sekat diantara benci dan lupa itu, mungkin seperti ini : Sekatnya ada dua macam, yaitu SIBUKKAN dan BIARKAN. Di paling depan, sekat SIBUKKAN menyangga. Bahannya cukup kuat asal hati hati saat mau melewatinya. Di antara sanggahan sekat itu aku dapat menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat yang selama ini aku tinggalkan, hingga aku ga sempat mikirin dia. Dengan begitu, aku jadi ga berurai airmata menyesali kepergian dia kan? Itu kegunaaan sekat SIBUKKAN.
Setelah melewati sekat SIBUKKAN, silahkan lewati sekat satu ini, BIARKAN. Butuh kesabaran untuk mencapai sekat ini. Harus ikhlas menerima kenyataan yang manis maupun yang pahit. Yang terpenting, membiarkan rasa sayang itu tetap ada. Sayang sebagai teman, bukan sebagai pacar lagi. Maka ketenangan batin yang akan didapatkan. Ga perlu memaksakan diri untuk benci kalau memang benar-benar ga bisa benci. Aku ga perlu memusuhinya. Biarkan hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya, tanpa rasa dendam dan kecewa. Sekat BIARKAN membuat pemikiranku selangkah lebih dewasa.
Intinya, aku ga membencinya. Aku hanya lupa tentang dia. Lupa tentang kisah cinta kami dulu. Aku masih menempatkannya sebagai bagian hidupku. Sebagai sahabat. Jadi ingat Arighi, mantanku waktu kelas 3 smp. Meski aku memutuskannya dengan kurang ajar, mengumpatnya, mengecewakannya, kami tetap bersahabat sampai sekarang. Ga ada permusuhan. Aku malu pada diriku sendiri kalau ingat Arighi. Begitu baiknya Arighi, dia tetap mau temanan sama aku. Seharusnya aku juga begitu.
Aku sudah beneran lupa kalau pernah jatuh cinta. Semoga aku selalu lupa.
0 komentar